Tonton Youtube BP

Menkeu diminta kejar dugaan penyimpangan pajak ekspor-impor senilai Rp2.200 triliun per tahun

Armin Mandika
28 Sep 2025 09:51
3 minutes reading

PRIORITAS, 28/9/25 (Jakarta): Memburu 200 pengemplang pajak kakap yang nilai tunggakannya Rp60 triliun oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa layak diapresiasi. Namun ada sektor gelap yang perlu dikejar dimana potensi penerimaan negara lebih gede lagi, sekitar Rp2.200 triliun per tahun. Demikian informasi yang diterima Beritaprioritas, Minggu (28/9/25)

“Tapi, penegakan pajak tersebut dijalankan secara konsisten, adil, dan tanpa pandang bulu terhadap semua wajib pajak. Jangan sampai ada pilih kasih. Dengan tidak adanya diskriminasi dalam penindakan, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dapat terjaga,” kata Peneliti NEXT Indonesia Center, Sandy Pramuji di Jakarta, Sabtu (27/9/25) sebagaimana dikutip dari Inilah.com.

Dikatakan Sandy, kebocoran penerimaan negara di Indonesia yang tidak kalah besarnya, adalah praktik curang dalam pencatatan ekspor-impor atau trade misinvoicing. Di mana, trade misinvoicing merupakan perbedaan catatan nilai komoditas antara negara yang mengekspor dengan negara yang mengimpor sebuah komoditas.

Menurutnya, ada dua jenis misinvoicing, yaitu under-invoicing, berarti volume atau nilai ekspor yang dicatat di Indonesia, lebih rendah ketimbang catatan negara mitra dagang (negara tujuan ekspor). Atau over-invoicing yang bermakna, catatan di Indonesia lebih tinggi ketimbang catatan negara mitra.

“Kedua bentuk kecurangan ekspor dan impor ini jelas merugikan keuangan negara dan merusak integritas sistem perdagangan,” katanya.

Potensi misinvoicing

Sebagaimana  penelusuran NEXT Indonesia, data ekspor- impor Indonesia dengan negara mitra selama periode 2014-2023, menemukan adanya potensi misinvoicing. Angkanya mengejutkan.

Adapun total nilai misinvoicing ekspor Indonesia ke negara mitra, mencapai US$654,5 miliar. Sementara, potensi misinvoicing impor dari negara mitra, mencapai US$720 miliar. Luar biasa.

Untuk secara total, potensi nilai misinvoicing ekspor dan impor Indonesia selama 10 tahun, sebesar US$1.374,5 miliar, atau setara Rp21.992 triliun.

Karena itu ia menjelaskan, setiap tahun terdapat duit gelap senilai Rp2.200 triliun yang lolos dari bea dan pajak, atau menyelinap pergi ke luar negeri begitu saja

“Ini adalah potensi nilai perdagangan yang gelap yang sebagian besar merupakan indikasi keuntungan perusahaan yang tidak dilaporkan atau penghindaran kewajiban fiskal yang seharusnya masuk ke kas negara,” ujarnya.

Dikatakan Sandy terkait selisih data ekspor-impor yang timbul akibat under- invoicing maupun over-invoicing, yang merupakan potensi pendapatan negara yang hilang.

Menurutnya, pada umumnya, perbedaan ini terjadi karena adanya upaya menghindari pajak dan cukai, mencuci uang hasil kejahatan, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri.

“Pemerintah harus serius menggali potensi pendapatan yang hilang ini sehingga tidak perlu selalu menaikkan tarif pajak di dalam negeri. Apalagi, manipulasi pencatatan ekspor tersebut merupakan tindakan kejahatan keuangan,” jelasnya.

Pemberantasan praktik illicit financial flow melalui trade misinvoicing bisa mendatangkan penambahan penerimaan negara yang signifikan, bahkan melampaui angka Rp60 triliun yang sedang dikejar dari 200 entitas pengemplang pajak.

“Bahkan, jika sebagian dari dana gelap itu saja yang terungkap dan dikenakan pajak sesuai aturan, tambahan pemasukan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan sangat besar,” ungkapnya. (P-*r/am)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x