Yogyakarta, 14/4/20 (SOLUSSInews.com) – Prediksi optimistik dikemukakan pakar dari Universitas Gadjah Mada tentang pandemi Covid-19.
Pakar statistika dan alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dedi Rosadi itu menyampaikan, berdasar data nyata atau probabilistik data-driven model (PPDM), penyebaran Covid-19 di Indonesia akan berhenti pada akhir Mei 2020. Atau berakhir pada 29 Mei 2020 dengan minimal total penderita positif sekitar 6.174 kasus. Dengan intervensi pemerintah, total penderita corona positif minimal di sekitar 6.200 di akhir pandemi pada akhir Mei 2020.
Dedi menjelaskan, penambahan maksimal total penderita Covid-19 terjadi pada minggu kedua April 2020, yaitu berkisar antara 7 hingga 11 April 2020 dan diperkirakan akan terus menurun setelahnya. Yaitu, sesuai asumsi adanya intervensi yang ketat dari pemerintah sejak minggu ketiga Maret 2020.
Sehingga, menurutnya, physical distancing atau menjaga jarak baiknya terus dilakukan sampai pandemi benar-benar berakhir di awal Juni 2020. Dedi juga menyarankan untuk tidak melakukan ritual mudik Lebaran dan kegiatan Salat Tarawih di masjid selama Ramadan.
Rapid test
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Satria Aji Imawan menambahkan, selain aturan yang ketat physical distancing, juga perlu dilakukan rapid test dari pintu ke pintu, untuk mengetahui keberadaan orang tanpa gejala (OTG) yang justru menjadi pembawa virus di tengah masyarakat sehat.
“Jangan biarkan warga yang mendatangi tempat pemeriksaan. Maka physical distancing akan gagal,” ujarnya.
Disebutnya, lebih baik melakukan tes massal dari rumah ke rumah dengan mengandalkan peran serta ketua RT dan RW setempat.
Oleh karena itu, Satria menegaskan kembali, agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga mengoptimalkan partisipasi publik dalam bersiap menghadapi prediksi puncak Covid-19.
Proteksi zona putih
Sedangkan Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Kebidanan UGM, Ova Emilia mengatakan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di kota-kota episentrum Covid-19, juga harus didukung dengan model serupa di kota-kota zona putih Corona. Sebab kalau tidak, kawasan zona putih juga bisa menjadi merah.
“Jadi ini harus diproteksi atau dilindungi supaya penyebaran itu tidak makin meluas,” tegas Ova.
Pertama, melalui upaya edukasi yang dilakukan akan sampai ke desa ataupun perkampungan. Kedua, meningkatkan screening atau deteksi orang populasi umum.
“Kalau kita mengetahui lebih banyak lagi, mungkin yang positif akan makin kelihatan. Tetapi, kita juga mengetahui bagaimana caranya mencegah supaya orang-orang yang positif ini tidak meluas lebih lanjut,” paparnya.
Rekomendasi pertama
Secara terpisah, Koordinator Tim Respons Covid-19 UGM, Riris Andoni Ahmad mengatakan, physical distancing tetap menjadi rekomendasi pertama yang perlu dilakukan.
“Mengingat penularan virus dengan cara bersentuhan, masyarakat harus mulai mengurangi untuk datang ke lokasi kerumunan,” tegasnya.
Disebutnya lagi, untuk memutus penyebaran yang makin meluas, perlu dilakukan karantina wilayah.
Rekomendasi kedua, screening dan diagnosis minimal 10 kali lebih besar. Selanjutnya peningkatan kapasitas layanan kesehatan.
Bagi wilayah yang tidak masuk kriteria PSBB, Riris Andoni mengatakan, memang perlu diatur dan diberlakukan pengetatan physical distancing.
“Yang jelas tiap daerah memiliki jumlah kasus yang berbeda. Maka dari itu bagi lokasi yang telah menjadi red zone harus ada karantina wilayah. Sementara kasus positif yang belum banyak terjadi di daerah lain, penekanan moderate social distancing ini yang harus dilakukan untuk meminimalisasi penyebaran virus,” kata rekomendasi pertama. (S-BS/jr)