Jakarta, 28/2/23 (SOLUSSInews.com) – Dalam perjalanan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J selama sekitar enam bulan hingga jatuhnya vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada sejumlah terdakwa, menyimpan banyak catatan penting, baik bagi praktisi hukum, institusi kepolisian, para pengamat, akademisi, hingga masyarakat luas.
Peristiwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir J yang dilakukan oleh Sambo cs bisa diibaratkan sebagai sebuah drama yang lengkap dengan orkestranya.
Peristiwa tersebut berasal dari ‘skenario’ aksi koboi, tembak menembak di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang mana hal tersebut sudah diakui oleh semua terdakwa. Tembak menembak itu terjadi berangkat dari telepon Putri Candrawati istri Ferdy Sambo yang mengaku telah terjadi pelecehan seksual. Hal tersebut dimuat dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa Ricky Rizal.
Mendapat telepon demikian, Sambo jadi emosi. Yang tadinya ia hanya ingin mengklarifikasi kepada Brigadir J, namun yang terjadi justru penembakan. Awalnya, Ricky Rizal yang diminta memback-up Sambo, tapi ditolak dengan alasan tidak cukup kuat mentalnya untuk melakukan. Hingga Eliezer atau Bharada E yang menyatakan siap memback-up Sambo serta menembak Yosua hingga lebih dari tiga kali di bagian dada.
“Jelas ini merupakan pembunuhan berencana yakni dengan meminta bantuan pihak lain,” kata Prof Gayus Lumbuun Hakim Agung 2011-2018, dalam analisanya, di Jakarta, Senin (27/2/23) kemarin.
Unsur-unsur pembunuhan berencana terpenuhi
Disebutnya, unsur-unsur pembunuhan berencana seperti dalam Pasal 340 KUHP sudah terpenuhi. Sesudah penembakan, jenazah Yosua diantar ke rumah keluarganya di Jambi. Di sinilah ‘kotak pandora’ kasus ini mulai terbuka, saat keluarga Brigadir J meminta agar peti dibuka dengan alasan ingin mengulosi sebagaimana lazimnya adat Batak dan ingin melihat Yosua untuk terakhir kalinya.
Ketika itu, sambung Gayus, ada beberapa orang yang melakukan social justice warrior antara lain, Saor Siagian, Johnson Panjaitan, dan Kamaruddin Simanjuntak, dan lain-lain, yang dengan semangat melaporkan ke Mabes Polri dan meminta agar Sambo dan Eliezer diberhentikan supaya tidak mengganggu pengungkapan kasus tersebut. Seiring waktu, Eliezer menyatakan diri sebagai justice collaborator (JC) yang disahkan oleh LPSK.
Gayus menegaskan, proses yang berjalan, termasuk di pengadilan hingga putusan majelis hakim tentu bukan sebuah drama. Meskipun perjalanan kasus ini telah menyita perhatian masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Hanya saja, banyak hal yang patut dicermati dan ditelaah lebih jauh sebagai catatan dari suatu persidangan.
“Kita harus menghormati putusan pengadilan. Namun, bila kita dalami proses di pengadilan bisa kita lihat bahwa antara tuntutan dengan putusan jaraknya terlalu jauh. Ada yang dituntut delapab tahun, tapi setelah divonis menjadi 20 tahun, ada pula yang dituntut 12 tahun setelah diputus menjadi 1,5 tahun. Ini tentu menjadi perhatian dan catatan kita semua. Seperti halnya tuntutan pidana seumur hidup, diputus hakim hukuman mati, oleh jaksa masih dilakukan upaya banding. Sementara tuntutan 12 tahun, divonis hanya 1,5 tahun, jaksa tidak banding,” tutur Prof Gayus yang mantan Hakim Agung ini.
Street justice
Selain ada social justice warrior, ada juga street justice, di mana mereka tidak memahami hukum tapi menyuarakan dengan kata-kata kasar atas dasar suka dan tidak suka terhadap orang yang berbeda pandangan. “Itu semua memang hak masyarakat. Hanya saja, semua pihak harus memahami di posisi mana dia berada,” tukasnya.
Ditambah lagi, kemunculan kelompok amicus curiae atau friends of court (sahabat pengadilan), yang didalamnya terhimpun para akademisi. Kelompok ini menyurati Ketua Majelis Hakim dan meminta keringanan hukuman terhadap salah satu terdakwa.
“Baik social justice, lalu street justice, serta amicus curiae merupakan hak dari masyarakat. Namun, sudah seharusnya diimbangi oleh legal justice sebagai pedoman bagi keadilan yang diharapkan,” tambah Prof Gayus.
Dirinya teringat dengan sebuah drama karya William Shakespeare yang menampilkan cerita tentang pengkhianatan, pembunuhan, hawa nafsu, dan keakuan seperti Othelo, Macbeth, King Lear, dan Hamlet. Saking geramnya, quote Shakespeare yang paling terkenal dalam buku berjudul King Henry ‘Perang Mawar’ dikatakan, “The first thing we do, let’s kill all the lawyers”. Ini bentuk kekecewaan masyarakat terhadap proses peradilan.
Pasca putusan persidangan kasus Sambo cs, tampak jelas ada kegalauan dari keluarga Brigadir J. Bahkan dengan terang-terangan Samuel Hutabarat, ayah Brigadir J mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan Eliezer yang menerima vonis hukuman yang ringan dari majelis hakim dan juga kembali diterima sebagai anggota Polri. Dia mengungkit, Eliezer menembak putranya.
“Saya jelaskan ya di sini saja. Saya mau bicara karena begini, ini anak saya ditembak oleh dia, karena dia bilang alasan diperintah. Jika diperintah, sebagai manusia dia tahu mana baik, mana buruknya, apalagi dia bukan robot. Kecuali dia robot, bisa disuruh-suruh apa pun itu dari operatornya, lalu sudah menembak diterima lagi jadi Polri, itu kami kecewa,” ujar Samuel.
Pendapat serupa juga disampaikan Yuni Hutabarat, kakak Brigadir J yang mengaku kecewa dengan putusan terhadap Richard Eliezer. “Setelah mendengar putusan hakim kan memang ada sedikit kekecewaan, karena sangat ringan dibanding dengan tuntutan jaksa 12 tahun. Itu hampir 90 persen hasil putusannya itu diturunkan hingga satu tahun ensm bulan. Sebenarnya agak sedikit berat sih menerimanya,” kata Yuni dikutip dari YouTube Kompas TV, Minggu (19/2/23).
Diyakini, kekecewaan keluarga Brigadir J itu menjadi sebuah titik terang yang pada saatnya nanti akan menerangi kegelapan.
Lebih jauh Prof Gayus mengatakan, kasus ini memasuki fase yang disebut ‘…..Terbitlah Terang’, dalam perjalanan kasus tersebut. “Peristiwa ini akan menjadi catatan sejarah untuk kita semua. Kiranya di masa depan, seperti ada teori hukum yang menyebut Das Sollen dan Das Sein. Di mana Das Sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedang Das Sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Kasus ini memberi pelajaran bagi kita semua untuk melihat hukum dalam perspektif yang utuh dengan tidak memisah-misahkan antara kejujuran, kebenaran, dan keadilan, tidak sepenggal-sepenggal,” demikian Prof Gayus Lumbuun. (S-IN/jr)