Kementerian Kelautan dan Perikanan saat mengawal pemulangan 21 calon awak kapal perikanan diduga menjadi korban TPPO pada 2 September 2025. (Dok. KKP via Antara) PRIORITAS, 25/10/25 (Denpasar): Pengembangan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Bali, satu orang oknum polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah (Polda) Bali ditetapkan sebagai tersangka. Sebelumnya, Polda Bali telah menetapkan lima orang tersangka, yang semuanya telah ditahan di Rutan Polda Bali sejak 16 Oktober 2025.
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Komisaris Besar Polisi Ariasandy, di Denpasar, Sabtu (25/10/25). Dikatakan, anggota berinisial IPS tersebut ikut mencari orang, merekrut hingga aktif berkoordinasi dengan agen-agen perekrut.
“Ada yang kita amankan (oknum polisi) IPS. Dia mencari, merekrut dan berkoordinasi dengan agen-agen perekrut,” kata Sandy, seperti dilansir dari Antara.
Sandy mengatakan IPS bertugas di salah satu sub Direktorat Polda Bali. Kini, IPS sudah ditangani Bidang Propam Polda Bali untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Dengan demikian jumlah tersangka dalam kasus tersebut berjumlah enam orang yakni MAS, JS, I, R, TS dan terbaru IPS.
Sindikat perekrut ABK

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar Polisi Ariasandy. (Courtesy: Antara)
Kombes Pol Ariasandy mengungkapkan, para tersangka yang menjadi sindikat itu berbagi peran dalam melakukan tindak pidana tersebut. “Perannya ada yang mencari melalui agen. Kemudian ada yang membantu penertiban buku pelaut dan segala macam, jadi ada masing-masing punya perannya,” katanya.
Ia menjelaskan modus operandi dari para tersangka yakni merekrut Anak Buah Kapal (ABK) dengan iming-iming gaji besar, menjerat dengan utang, penyaluran pekerjaan yang tidak sesuai, perjanjian dan perlakuan yang tidak manusiawi di tempat penampungan seperti tidak ada tempat MCK, makanan tidak layak dan lain-lain.
“Modusnya adalah mencari orang (untuk) bekerja di kapal menangkap cumi. Dan sudah ada agreement (kesepakatan, red) dan segala macam, cuma tidak sesuai dengan kesepakatan. Semua sudah diperiksa termasuk pemilik kapal dan segala macam dari hasil penyidikan itu ditetapkan enam orang tersangka tadi,” katanya.
Sebelumnya, petugas gabungan Polda Bali mengecek penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada KM Awindo 2A yang tengah berada di perairan Pelabuhan Benoa, pada 15 Agustus 2025 lalu. Setelah diperiksa, polisi menemukan indikasi tindak TPPO di kapal tersebut.
Untuk itu, polisi mulai melakukan penyelidikan dengan meminta keterangan dari para korban. Polisi juga berkoordinasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memberi bantuan hukum kepada para korban.
Para korban sendiri telah dipulangkan sambil menjalani perawatan psikologi karena mengalami trauma. Sejauh ini kepolisian mendata ada 21 orang yang menjadi korban dalam dugaan kasus TPPO di Benoa tersebut.
Para korban calon ABK itu telah diserahkan kepada Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Proses penyerahan korban ke KKP itu dilakukan Selasa (2/9/25).
Direkruit melalui ‘Facebook’

Kapal KM Awindo 2A di mana para ABK dipekerjakan secara tidak manusiawi dan terindikasi terjadi paktik TPPO. Kapal tersebut ditahan pihak kepolsian di Pelabihan Benoa, Bali. (Dok. LBH Bali–DFW Indonesia)
Sementara itu, dihimpun dari berbagai sumber, para korban yang berusia 18-47 tahun diketahui direkrut melalui media sosial Facebook oleh calo dari Depok, Lampung, Surabaya, Jakarta, Pandeglang, Tangerang, Bandung, Bogor, Brebes, Madiun, Temanggung, Boyolali, Cirebon, dan Cilacap.
Mereka direkrut sebagian untuk bekerja sebagai Awak Kapal Perikanan (AKP). Kepada mereka dijanjikan untuk bekerja sebagai AKP, diiming-imingi gaji antara 3-3,5 juta/bulan, kasbon 5-6 juta, serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya dan tanpa potongan apapun.
Sebagian korban mengalami penipuan berkaitan dengan posisi kerja. Beberapa dijanjikan bekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) untuk bagian pengemasan, beberapa dijanjikan bekerja di kapal penampung (collecting), dan beberapa tidak diberikan informasi berkaitan tempat kerja.
Korban-korban tersebut ditempatkan di kapal cumi yang akan diberangkatkan dari Pelabuhan Benoa dengan gaji hanya 35 ribu rupiah per hari atau Rp1.050.000 per bulan. Korban yang menyepakati tawaran kerja tersebut kemudian diangkut oleh calo ke sebuah tempat penampungan di Pekalongan, Jawa Tengah, sebelum kemudian diberangkatkan ke Pelabuhan Benoa, Bali untuk menangkap cumi.
Setibanya di Bali, mereka ditempatkan di sebuah kapal bernama KM Awindo 2A tanpa diberikan akses ke daratan. Selama di atas kapal, mereka diminta untuk melakukan berbagai pekerjaan kapal tanpa fasilitas pelindung apapun.
Mereka juga tidak mendapatkan konsumsi yang layak serta dibebankan hutang kepada calo yang disebut sebagai biaya lepas tali sebesar Rp2.500.000 dan mengalami penahanan KTP serta telepon genggam.
Ketika di atas kapal, mereka didatangi oleh Polairud dan calo yang mendata dan memfoto para korban satu persatu. Dua hari kemudian, Polairud dan calo datang kembali ke kapal untuk membagikan Perjanjian Kerja Laut (PKL) untuk bisa diisi sesegera mungkin tanpa diberikan kesempatan untuk bisa membaca PKL tersebut.
Pengungkapan praktik TPPO ini terjadi tanpa disengaja. Pada 15 Agustus 2025, petugas gabungan Polda Bali mengecek penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada KM Awindo 2A yang tengah berada di perairan Pelabuhan Benoa. Setelah diperiksa, polisi menemukan indikasi tindak TPPO di kapal tersebut. (P-ht)
No Comments