Tonton Youtube BP

Warga Singapura mulai kesulitan menabung akibat biaya hidup makin tinggi

Jeffry Wuisan
15 Aug 2025 07:40
4 minutes reading

PRIORITAS, 15/8/25 (Singapura): Banyak warga Singapura terancam susah di hari tua, karena mereka saat ini sulit menabung akibat biaya hidup semakin tinggi. Banyak warga pekerja hanya hidup ‘pas-pasan’ mengandalkan gaji setiap bulan.

Sebuah penelitian terbaru tahun 2025 dari perusahaan penggajian ADP membuktikannya. Sekitar 60% pekerja di Singapura hidup dari gaji ke gaji pada tahun 2024.

Angka ini jauh lebih tinggi dari negara-negara tetangga seperti China, Korea Selatan (Korsel), Jepang, bahkan Indonesia. Rata-rata Asia-Pasifik hanya 48%.

Menurut para ahli, mahalnya biaya hidup dan kecenderungan masyarakat yang lebih memprioritaskan hiburan bagi diri sendiri, menjadi alasan perencanaan keuangan jangka panjang tidak lagi menjadi fokus utama warga.

“Di akhir setiap bulan, saat gaji saya masuk, saya menggunakannya untuk membayar tagihan kartu kredit, uang saku orang tua, asuransi, dan investasi,” kata seorang warga Singapura berusia 31 tahun, Jovan Yeo,  yang bekerja di sebuah perusahaan layanan perbankan digital, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari CNBC Indonesia, hari Jumat (15/8/25).

“Setelah semua itu, gaji saya kembali nol lagi, dengan tidak banyak yang bisa ditabung,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan,  pengeluaran lain dialokasikan untuk bepergian, makan di luar, dan keanggotaan kelas kebugaran.

Laporan lain juga sama

Penelitian ADP yang mensurvei hampir 38.000 orang di 34 pasar di Singapura dan sejumlah negara Asia, juga menunjukkan gambaran yang serupa dengan laporan lain.

Sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan penasihat riset global Forrester Research menemukan pada tahun 2021, persentase konsumen Singapura yang hidup dari gaji ke gaji yaitu 53%.

Selain itu, laporan kesehatan finansial terbaru dari Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) yang diterbitkan pada akhir tahun 2024 juga mencengangkan.

Laporan menunjukkan jumlah warga Singapura berusia 20-an hingga 50-an yang telah memulai perencanaan keuangan untuk masa pensiunnya, lebih sedikit dibandingkan tahun 2023.

Warga Singapura, Jovan Yeo, mengakui pentingnya menabung. Namun, ia mengatakan kini semakin sulit untuk melakukan hal tersebut, mengingat meningkatnya biaya hidup di negara tersebut.

“Saya bisa menabung jika saya tidak keluar, tetapi saya juga ingin memiliki kehidupan dan pengalaman!,” katanya.

Faktor makroekonomi

Ekonom dari Maybank Research, Brian Lee, mencatat sejumlah faktor makroekonomi secara objektif telah mempersulit masyarakat untuk menabung di Singapura.

Meskipun inflasi Singapura baru-baru ini menurun ke level terendah dalam empat tahun, negara ini masih memiliki salah satu biaya hidup tertinggi,  karena faktor struktural seperti mahalnya perumahan dan biaya impor.

Menurut indeks biaya hidup Numbeo yang mengumpulkan data dari berbagai sumber tentang bahan makanan, utilitas, dan tarif transportasi, Indeks Biaya Hidup Singapura berada di peringkat kelima secara global, dengan skor 85,3 pada pertengahan 2025, menempati peringkat pertama di kawasan. Angka ini juga menunjukkan kenaikan 11% dari tahun sebelumnya.

Di sisi lain, sebuah survei perusahaan analitik data YouGov  yang diterbitkan pada bulan April, juga menemukan biaya hidup menjadi kekhawatiran utama bagi 72% dari 1.845 warga Singapura yang disurvei.

Ini diikuti layanan kesehatan dan tantangan populasi yang menua.

“Biaya hidup telah meningkat lebih cepat daripada pendapatan selama periode inflasi harga konsumen yang tinggi pascapandemi,” kata Lee.

Ia menyebut ini berarti daya beli rata-rata pekerja telah sedikit menyusut setiap tahun sejak pandemi, alih-alih tumbuh seperti yang terjadi di masa lalu.

Pendapatan turun

Data dari Maybank menunjukkan pendapatan median riil turun 0,4% per tahun antara 2019 dan 2024. Angka itu membalikkan pertumbuhan rata-rata tahunan 2,2% yang terlihat dari 2014 hingga 2019.

Meskipun pertumbuhan upah riil pulih pada tahun 2024, diperkirakan akan moderat pada tahun 2025 akibat dampak terkait tarif.

Khususnya untuk sektor-sektor yang bergantung pada perdagangan seperti perdagangan grosir dan manufaktur.

Biaya perumahan semakin memperburuk tekanan. Menurut data dari Badan Pembangunan Perumahan negara tersebut, harga jual kembali apartemen publik Singapura, yang menampung hampir 80% penduduk, naik 9,6% pada tahun 2024. Angka itu lebih cepat dari kenaikan 4,9% pada tahun 2023.

“Singapura memiliki lahan, ruang, dan sumber daya alam yang terbatas. Hal ini menyebabkan harga properti yang tinggi, harga mobil yang tinggi, dan ketergantungan pada makanan impor,” tutur Lee.

“Karena ketergantungan kita pada impor, inflasi domestik kita sangat berkorelasi dengan inflasi global, yang tinggi akibat gangguan pandemi yang berhubungan dengan peningkatan permintaan barang, kekurangan tenaga kerja, dan masalah rantai pasokan,” tambahnya.(P-Jeffry W)

 

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x