PRIORITAS, 5/4/25 (Palu): Kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump membuat banyak negara, termasuk Indonesia, terdampak. Pada Rabu (2/4/25) waktu Washington, atau Kamis pagi (3/4/25) waktu Jakarta, Donald Trump mengumumkan daftar tarif dasar dan bea masuk pada banyak mitra dagang negeri itu. Trump menyebut hari di mana pengumuman itu disampaikan sebagai “Hari Pembebasan”.
Saya coba flashback ke masa jabatan pertama. Dalam Ekonomi internasional, dikenal terminologi integrasi ekonomi. Untuk menuju ke integrasi ekonomi, dikenal lima tahap: Kawasan Pasar Bebas (free trade area), penyeragaman pabean (customs union), pasaran bersama (common market), penyatuan ekonomi (economic union), dan penyatuan ekonomi secara menyeluruh (total economic integration).
Saat ini, rata-rata negara-negara di dunia ini berada pada tahap awal dan common market. Hanya Uni Eropa yang berada pada tahap kelima.
Falsafahnya, tidak ada kewajiban suatu negara untuk menempuh setahap demi se tahap. Semua tahapan ini tertata baik dalam “Tata Ekonomi Internasional’ melalui kerjasama multilateral baik melalui lembaga internasional seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF) atau melalui organisasi kerjasama regional seperti APEC, NAFTA, CACM, Mercosur, GCC.
Sayangnya, terpilihnya Donald Trump pada masa jabatan pertama sebagai Presiden Amerika berusaha menonjolkan kembali hegemoninya sebagai penguasa ekonomi dunia yang terusik oleh Tiongkok, Uni Eropa dan Jepang. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa hegemoni AS ini mengambil alih dari hegemoni Inggris selama 150 tahun sebelum perannya diambil AS.
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, mempunyai kebijakan ekonomi yang dapat kita sebut “Trumponomic”. Kebijakan yang merepotkan tata perekonomian dunia dengan slogan “American First and Make America Great Again”.
Gaya diplomasi “injak kaki”

Presiden Trump menerapkan gaya diplomasi ekonomi “injak kaki”, yakni Amerika Serikat (AS) sebagai perekonomian nomor wahid di dunia sudah semestinya mempunyai daya tawar yang kuat sehingga menimbulkan gesekan dengan negara-negara lain yang dinilai merugikan bahkan merongrong hegemoni ekonominya.
Saat masa jabatannya pertama Trump, perang dagang antara AS-Tiongkok bagaikan sekam yang sewaktu-waktu dapat meledak lagi. Tanda-tanda Perang Dagang AS-Tiongkok belum berakhir, tiba giliran Perang Dagang AS-Uni Eropa. Mereka telah menyadari bahwa output dari Perang Dagang sama-sama kalah lalu membuat efek rambatan yakni arus perdagangan memudar, investasi dan konsumsi melambat.
Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi dunia melambat sebagai konsekuensi perlambatan permintaan dunia. Kelesuan ekonomi di depan mata, sehingga perekonomian dapat memasuki tahap resesi yakni bila selama dua triwulan berturut-turut, perekonomian suatu negara atau dunia mengalami kontraksi negatif.
Pada sisi AS, negara-negara Uni Eropa bukan merupakan partner dagangnya. Amerika lebih fokus perdagangannya pada North American Free Trade Agreement (NAFTA) yakni Kanada dan Meksiko sebagai tetangga dan tiga anggota NAFTA.
Nah pada masa jabatan keduanya, perang dagang mulai terjadi dengan Kanada. Selain itu, mitra dagang lainnya adalah Tiongkok di mana ekspor produk-produk pertanian Amerika terjalin selama ini.
Di dalam negeri AS sendiri, para eksportir produk-produk pertanian dibuat was-was oleh “Trumponomic”. Apalagi jalinan kuat antara eksportir AS dan importir Tiongkok berjalan cukup kuat.
Dari 15 negara tujuan utama ekspor AS, lima di antaranya adalah negara-negara anggota Uni Eropa termasuk Inggris di dalamnya walaupun Brexit belum secara resmi diberlakukan saat itu. Ekspor AS ke lima negara Uni Eropa tersebut mencapai US$ 146,7 miliar atau proporsinya mencapai 15,3 persen dari total ekspor AS.
AS akan merugi jika produk-produk ekspornya terkena tindakan balasan dalam Perang Dagang dengan Uni Eropa. Bila tetap memasarkan di lima negara Uni Eropa, harganya akan lebih mahal setelah terkena bea masuk dengan kualitas yang sama produksi Uni Eropa. Tentu konsumen rasional akan memilih produk lebih murah produksi sejenis Uni Eropa ketimbang produk-produk impor dari AS sehingga menurunkan permintaan pada produk-produk AS.
Penderitaan Uni Eropa
Setelah menghadapi defisit neraca dagang sangat besar dengan Tiongkok, AS juga akan menghadapi defisit neraca dagang yang lebih besar lagi dengan Uni Eropa. Di Tahun 2018, defisit neraca dagang dengan Uni Eropa mencapai US$ 201,81 miliar.
Namun, ketergantungan Uni Eropa pada produk-produk asal AS lebih besar ketimbang sebaliknya. Tentu akan lebih berat tanggungan Uni Eropa. Di Tahun 2018, ekspor 28 negara Uni Eropa ke AS mencapai € 407,06 miliar atau setara dengan 20,80 persen dari total ekspor mereka menduduki peringkat pertama ekspor Uni Eropa.
Hal ini berarti, frekuensi perdagangan transatlantik utara lebih dominan ketimbang transmediterania, dan/atau perdagangan Uni Eropa ke wilayah timur, walaupun pada sisi AS, frekuensi perdagangan transpasifik lebih besar baik dari sisi nilai maupun volume perdagangan.
Sejak 18 Oktober 2019, ekspor Uni Eropa ke AS sudah berlaku. Harga produk-produk Uni Eropa berangsur-angsur naik di pasaran AS sehingga konsumen AS mengalihkan permintaannya pada produl-produk sejenis asal dalam negeri dan/atau asal anggota NAFTA yang berbiaya murah yakni Meksiko.
Jika ekspor Uni Eropa meredup ke AS sebagai pasar potensial nomor wahid, dampaknya akan terasa sekali bagi Uni Eropa seperti produksi menurun, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berkonsekuensi pada pengangguran meningkat menambah beban pengangguran yang memang telah tinggi sebagai konsekuensi kekakuan pasar tenaga kerja (market rigidities).
Penderitaan Uni Eropa akan berpengaruh pada perekonomian global. Perang Dagang Uni Eropa-AS menyebabkan supply chain atau mata rantai pasokan produk terganggu. Apabila hal ini terjadi, maka ekspor dan investasi meredup sehingga export is an engine of growth maupun investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi akan melesu.
Kontraksi terparah
Data publikasi Bank Dunia menyebutkan, perdagangan dunia pada triwulan II 2019 terkontraksi sebesar -1,4 persen year on year. Fenomena ini merupakan kontraksi terparah sejak krisis ekonomi AS pada 2008-2009. Pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 2,4 persen pada periode tersebut.
Pada sisi Indonesia, Perang Dagang AS-Uni Eropa berpotensi memperbesar defisit neraca dagang Indonesia karena tahun lalu, selama periode Januari-Agustus 2019, pertumbuhan ekspor non migas Indonesia ke Uni Eropa menurun 17 persen year on year (yoy) setara dengan US$ 9,58 miliar. Sedangkan impor barang non migas dari Eropa juga menurun 13,75 persen atau nilanya mencapai US$ 8,27 miliar.
Pada sisi moneter Indonesia, berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dimaksudkan untuk mengantisipasi tekanan pada perekonomian domestik atas dampak Perang Dagang pada tiga kutub pertumbuhan ekonomi.
Suku bunga acuan yang tetap dipertahankan saat ini termasuk penerapan kebijakan makroprudensial berbarengan dengan kerjasama dengan Pemerintah dan otoritas lainnya dapat mentransformasi perekonomian Indonesia utamanya mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru di Asia Selatan, Timur Tengah maupun Afrika Timur sehingga dapat meminimalisir dampak eksternal terhadap perekonomian domestik.
Pada masa jabatan kedua Presiden Trump, beban yang dialami oleh Indonesia semakin berat. Pertama karena diversifikasi pasar internasional belum tercipta, kedua Amerika merupakan mitra dagang terbesar kedua setelah Tiongkok dan ketiga ketiga, sejak lama, Indonesia mengalami de-industrialisasi sebagai akibat banjirnya produk-produk “murah meriah” dari Tiongkok yang sejak 2008, itu menyebabkan Indonesia mengalami defisit neraca dagang berkelanjutan dengan Tiongkok.
Keempat, perdagangan intraAsean sangat kecil hanya 25 persen. Negara Asean justru bersaing di pasar Jepang yang saat ini meredup, buah dari perang dagang AS-Jepang. Tarif 32 persen oleh administrasi Trump merupakan pukul beruntun bagi Indonesia.
Solusinya, selain melakukan diversifikasi pasar internasional, kerjasama dengan berbagai kelompok kerjasama ekonomi seperti Australian-New Zeland Closely Economy Regional (ANZCER), SAARC, East African Common Market, Gulf Corporation Council, maupun Negara-negara Amerika Latin belahan kerucut selatan. Sayangnya, hal ini sepatutnya diikuti oleh tata kelola ekonomi Indonesia yang sejak Pemerintahan Prabowo bermasalah yang menimbulkan sentimen pasar negatif.
Ekonomi kontemporer mengajarkan kita bahwa saat ini, kita tidak hidup dalam kondisi normal, kita setiap hari berhadapan dengan ancaman krisis. Ada baiknya, kita belajar dari Yunani di asa krisis Zona Euro 2010 yakni kembali ke desa: Makan apa yang ditanam, tanam apa yang dimakan, karena sejak 2010, dunia telah alami krisis pangan. Sebanyak 1,7 miliar penduduk dunia mengalaminya.
Kebijakan Trump saat ini jelas merugikan karena negara yang terkena kebijakan ini tidak tinggal diam. Akhir terjadi perang dagang yang sama buntung atau merugi. Sejarah membuktikan perang dagang antara Amerika dan Jepang di masa presiden Ronald Reagen menimbulkan kelesuan ekonomi karena 2 raksasa pemegang 40 persen ekonomi dunia berperang dagang via Jenskin’s bill dan Turgmont Act.
Dinamika volatilitas kurs sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam pasar keuangan global. Secara teoritis, fluktuasi kurs rupiah ini tidak terlepas dari pilihan masing-masing negara dalam pemberlakuan sistem kurs dalam impossible trinity atau segitiga Mundell 1966.
Masing-masing negara menurut konsep Mundell, setiap negara tidak dapat mencapai tiga tujuan kebijakan moneter sekaligus yakni independensi kebijakan moneter, stabilitas kurs, dan integrasi pasar keuangan dunia.
Kurs bebas
Independensi kebijakan moneter dan stabilitas kurs bertumpu pada pengendalian arus modal, stabilitas kurs dan integrasi pasar keuangan dunia bertumpu pada penyatuan moneter, sedangkan integrasi pasar keuangan dan independensi kebijakan moneter bertumpu pada sistem kurs mengambang.
Seperti beberapa negara Asia lainnya yakni Korea Selatan, Filipina, Thailand, Indonesia hingga saat ini lebih memilih integrasi dalam perekonomian global dan independensi kebijakan moneter. Pilihan rezim kursnya adalah kurs bebas. Tentu saja melepaskan pilihan stabilitas nilai tukar dan integrasi ekonomi dunia serta pilihan antara stabilitas kurs dan independensi kebijakan moneter.
Konsekuensinya, stabilitas kurs diserahkan pada mekanisme pasar sehingga kondisinya seperti saat ini yang berlangsung sejak pemulihan pasca krisis Asia 1997. “The impossibilitt of trinity of Mundell” mengajarkan pada kita semua terjadi Sunahtullah dan keserakahan atau greedy membuat krisis ekonomi dunia. Bagi Indonesia, tekanan apresiasi dolar karena tata kelola pemerintahan aktual berlawanan dengan pakem ekonomi di dalam negeri.
Pemerintah lebih memilih memberikan makan satu anak sekolah ketimbang pekerjaan bagi orang tuanya yang dapat memberikan makan bagi semua anggota keluarga. Selain itu, tekanan hutang luar negeri jangka pendek semakin berat yang dapat memberikan sentimen pasar negatif karena pasti dibiayai oleh pajak yang dipungut dari masyarakat yang daya belinya melemah. Bila pemerintah tidak segera mengubah kebijakan ekonominya, tekanan pada rupiah semakin besar dan dapat menimbulkan krisis generasi kelima.
Kebijakan memperparah tekanan volatilitas rupiah. Rupiah sdh melemah sebelum kebijakan Trump karena ada masalah pada tata kelola ekonomi Indonesia. Bila tata kelola ekonomi semakin baik, depresiasi rupiah terhadap dolar akan berkurang menuju keseimbangan baru yang stabil. (P-Elkana L/ht)