PRIORITAS, 30/9/25 (Jakarta): Permohonan uji materi yang meminta penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian informasi yang diterima Beritaprioritas.com, Selasa (30/9/25).
Adapun permohonan tersebut diajukan oleh seorang wiraswasta bernama Taufik Umar dan terdaftar dengan perkara nomor: 155/PUU-XXIII/2025.
“Mengadili: menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Hakim MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Senin (29/9/25) sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia.
Dikatakan pihak MK, permohonan tersebut tidak jelas atau kabur (obscuur). Hal itu dilihat dari adanya ketidaksesuaian antara dalil permohonan dalam posita dengan petitum.
Selanjutnya dalil tidak terdapat dalam posita tetapi terdapat dalam petitum atau sebaliknya, serta adanya permintaan Pemohon dalam petitum yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya dan tidak memberikan pilihan alternatif.
Pihak MK telah mencermati secara saksama ihwal permohonan a quo, in casu pada bagian alasan-alasan permohonan (posita) dan hal-hal yang dimohonkan (petitum).
Tidak ada uraian
MK berpandangan, tidak terdapat uraian argumentasi hukum yang jelas dan memadai perihal pertentangan antara norma yang dimohonkan pengujian yaitu terkait dengan meniadakan kata “agama dan kepercayaan” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah dimaknai oleh MK dalam putusan nomor: 97/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017 dengan Pasal yang dijadikan dasar pengujian, yaitu Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan data agama harus didesain sebagai kolom isian terbuka mengikuti kaidah statistika yang baik agar dapat berdaya guna bagi keperluan pembangunan dan sebagainya, menurut MK, Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi hukum yang jelas dan memadai mengenai pertentangan antara sistem pencatatan data agama yang terdapat saat ini dengan norma dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian.
Tidak terkait
Apa lagi kemudian pemohon disebut juga tidak menjelaskan hubungan dan keterkaitan antara menghapus kata “agama dan kepercayaan” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan dengan pencatatan agama dalam data kependudukan harus dilakukan secara terbuka.
Hanya saja dalam petitum, pemohon memohon agar pencatatan data kependudukan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip statistika yang bersifat isian terbuka.
“Ketiadaan uraian yang cukup menyebabkan Mahkamah tidak dapat menilai adanya pertentangan norma yang diuji dengan UUD NRI Tahun 1945,” jelas MK.
Tak hanya fakta hukum di atas, setelah mencermati dan membaca petitum permohonan Pemohon, MK menyimpulkan rumusan petitum angka 2 dan angka 3 yang dirumuskan oleh pemohon secara alternatif ternyata justru menimbulkan ketidakjelasan tentang apa sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon.
Apalagi petitum angka 4 dan angka 5 bukanlah rumusan petitum yang lazim dimohonkan dalam pengujian Undang-undang. Rumusan petitum angka 4 dan angka 5 menjadi tidak konsisten dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat karena tidak terdapat uraian maupun argumentasi hukum yang mendukung dalam rangkaian uraian dalam posita. (P-*r/am)
No Comments