PRIORITAS, 22/1/25 (Jakarta): Seorang wartawan tergolong senior, Supriyanto Martosuwito, dengan gamblang menumpahkan uneg-unegnya terkait “sejarah” pencabutan TAP MPRS Nomor 33/1967 yang mengembalikan nama baik Proklamator RI, Soekarno.
Ia meng-upload tulisannya di media sosial Facebook dan dibagikan ke beberapa WA Group dengan total member ribuan. Banyak komentar atas postingan tersebut, hampir semuanya mendukung dan memberi acungan jempol.
Pada dasarnya, melalui tulisannya, Supriyanto Martosuwito ingin memperjelas, ucapan terimakasih Megawati Soekarnoputri, seharusnya ditujukan kepada Joko Widodo (Jokowi), yang menjabat Presiden RI saat TAP MPRS Nomor 33/1967 itu resmi dicabut. Namun, ditengarai, karena di antara Megawati dan Jokowi telah terjadi “perpecahan”, ucapan terimakasih Megawati lantas disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Tampaknya, pada fase itu Supriyanto menganggap Megawati melakukan manipulasi “sejarah”. Sejarah tentang kapan dan siapa yang sesungguhnya berjasa dalam proses pencabutan TAP MPRS tersebut. Penulis tersebut seperti tak ikhlas jika karena masalah “pribadi”, sejarah harus dibengkokkkan, dimanipulasi.
Saat Beritaprioritas.com minta izin untuk melansir tulisannya itu pada Rabu (22/1/25), Supriyanto Martosuwito yang akrab dipanggil Dimas menjawab enteng, “Silaken, dengan senang hati.”
Drama Megawati
Mengawali tulisannya, laki-laki kelahiran Banyumas, Jawa Tengah itu, mengulik kejadian di Sekolah Politik PDI Perjuangan (PDIP) di Lenteng Agung. Ia menulis, “Dalam pidato politiknya pada peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-52 PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1) siang, dengan terisak Megawati Sukarno menyampaikan terima kasih karena Presiden Prabowo memulihkan nama baik Bung Karno.”
Di mata Dimas, drama yang ditampilkan Megawati itu memanipulasi sejarah, penipuan terang-terangan yang membodohi bangsa, dan yang sungguh ironis – karena media massa utama (‘mainstream’) membiarkannya. Tidak mengoreksinya.
Padahal jelas, katanya, pencabutan resmi TAP MPRS Nomor 33/1967 yang mengembalikan nama baik Proklamator RI itu berlangsung pada 9 September 2024 saat mana pemerintahan masih dalam kepemimpinan Ir. Joko Widodo sebagai Presiden Ri 2019-2024. Sedangkan Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka baru dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 pada Senin, 21 Oktober 2024 atau sekira 42 hari kemudian.
Dalam pandangan Dimas, tak ada media yang meluruskan itu. “Semua hanyut oleh tangisan Ketum PDIP yang tengah nelangsa, gundah gulana dan berduka lara lantaran politisi kesayangannya, tenaga andalannya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, menjadi tersangka KPK,” sambungnya.
Diterangkannya, adalah Ketua MPR Bambang Soesatyo yang meresmikan pengembalian nama baik Ir. Sukarno dalam acara penyerahan surat pencabutan TAP kepada keluarga Bung Karno, di Jakarta, Senin (9/9/2024). Bukan Ahmad Muzani, Ketua MPR RI era Prabowo Subianto.
Dimas lalu mengutip pernyataan Bambang Soesatyo. “Pencabutan ini menjadi momen penting dalam pemulihan nama baik Presiden Soekarno. Tuduhan yang selama ini dilemparkan tidak pernah dibuktikan di depan hukum,” kata BamSoet – panggilan akrab politisi Golkar itu – ikhwal pencabutan resmi TAP MPRS Nomor 33/1967 pada 9 September 2024 itu.
Menurut Dimas, langkah ini menegaskan tidak ada bukti yuridis terkait keterlibatan Soekarno dalam pemberontakan G30S. Selain pemulihan nama baik, pencabutan TAP MPRS ini juga mengembalikan hak-hak Soekarno sebagai mantan kepala negara.
Hak-hak tersebut, kata Bamsoet seperti dikutip Dimas, mencakup perumahan dan fasilitas lainnya yang sebelumnya diberikan kepada presiden-presiden Indonesia.
Masih mengutip Bamsoet, Dimas menulis. “Pemulihan hak-hak Bung Karno adalah bentuk penghargaan terhadap kontribusi besar beliau dalam kemerdekaan Indonesia,” ujar Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI (2019-2024) yang sebelumnya menjabat Ketua DPR RI (2018-2019) itu.
Soekarno Pahlawan Nasional
Dimas Supriyanto melanjutkan tulisannya. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada Senin 7 November menjelang Hari Pahlawan 2022, di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, sudah menegaskan terkait gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada Bung Karno telah memenuhi syarat. Bung Karno bukanlah seorang pengkhianat bangsa. Hal itu dikuatkan dengan dianugerahkannya Gelar Kepahlawanan Nasional kepada Bung Karno pada tahun 2012 oleh Presiden SBY.
Dikatakannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lah yang menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno-Hatta. Penganugerahan ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/TAHUN 2012 tanggal 7 November 2012 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C.) Ir. Soekarno, dan Keputusan Presiden RI Nomor 84/TK/TAHUN 2012 tanggal 7 November kepada Wakil Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C) Drs. Mohammad Hatta.
Untuk diketahui, jelasnya, dalam UU No 20 tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Jasa, syarat pemberian status gelar Pahlawan Nasional tersebut dapat diberikan kepada tokoh bangsa apabila “semasa hidupnya tidak pernah melakukaan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara”. Gelar Pahlawan yang diberikan kepada Bung Karno oleh SBY menjadi tanda bahwa “Bung Karno tak pernah berkhianat”.
“Presiden Jokowi kemudian menegaskan kembali, dan menguatkannya bahwa Bung Karno bukanlah seorang pengkhianat bangsa,” ungkap Dimas.
Ia melanjutkan, adalah Guntur Soekarnoputra, Putra Bung Karno, yang memberikan respon positif mengenai penegasan yang diberikan oleh Presiden Jokowi terhadap status kepahlawanan Bung Karno itu. Dia menilai pernyataan Presiden Jokowi juga merupakan penegasan mengenai sosok Bung Karno yang bersih dan tidak patut dituduh terlibat G30S/PKI.
Diakuinya (Guntur), sambung Dimas, meski telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, namun hingga saat ini masih terjadi proses ‘de-Soekarnoisasi’ yaitu upaya memperkecil peranan dan kehadiran Bung Karno.
“Sebenarnya sejak zaman Pak Harto pun, nama Bung Karno sudah dipulihkan. Saat itu, Presiden Suharto memberikan gelar Pahlawan Proklamator dan tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 86/TK/1986 Tentang Pemberian Gelar Pahlawan Proklamator untuk Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Tak lama kemudian namanya diabadikan sebagai Bandar Udara Utama di Cengkareng,” ulas Dimas.
Menangis dan merengek
Selanjutnya Dimas menulis lagi. “Bukan tanpa maksud Megawati sengaja memanipulasi sejarah secara terang terangan, dan melawan ajaran bapaknya sendiri agar ‘jangan sekali sekali melupakan sejarah’ (jas merah).”
Menurut Dimas, dia (Megawati) menangis dan merengek dalam rangka merayu Presiden Prabowo Subianto untuk berjumpa, sekaligus meloby dengan banyak agenda politik: minimal membebaskan tali hukum yang menjerat Hasto Kristiyanto, kader kesayangannya. Syukur-syukur memperoleh bagian kekuasaan (‘power sharing’) pemerintahan 2024-2029.
Tanpa rasa malu, kata Dimas lagi, Megawati blak-blakan menyatakan bahwa pada era pemerintahan Prabowo kini, “PDIP bukan lagi oposisi pemerintah” melainkan partner/mitra.
Mantan pemimpin redaksi beberapa media masa itu melanjutkan tulisannya. “Dalam terjemahan di lapangan jelas, tetap menginginkan proyek-proyek APBN (Naggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di kementerian, lembaga dan pemda (pemerintahan daerah), agar tetap digarap bersama. Berharap masih ada jatah – meski tidak mendapatkan pos resmi di pemerintahan.”
“Sebagai imbalan, boleh jadi, PDIP menjanjikan, tidak akan kritik keras dan galak di parlemen,” tambahnya.
Lebih dari itu, ungkapnya, PDIP ingin Prabowo menyingkirikan Gibran Rakabuming, minimal mengurangi perannya dan memajukan Puan Maharani untuk mendapat posisi yang lebih strategis, “Sebab itulah yang disuarakan dengan lantang oleh jubirnya, khususnya Deddy Sitorus, Adian Napitupulu, Aryo Seni Bagaskoro dan Cs-nya.”
Terancam “kelaparan”
Dalam pikirannya, pengalaman merasai haus dan lapar sebagai oposisi semasa SBY berkuasa (2004 – 2014) jelas mencekam bagi Megawati dan anak buahnya.
Dijelaskannya, “Lalu PDIP sempat menikmati kekuasaan dan bertabur proyek semasa Presiden Jokowi berkuasa (2014-2023) namun kini terancam “kaliren” (kelaparan) setelah ditingal Jokowi dan tersisih.”
Belum lagi, katanya, rentetan kasus hukum yang menimpa elite-nya sedang dibuka satu per satu baik oleh KPK maupun Kejaksaan Agung. (Beberapa di antaranya) menjadikan Hasto Kristiyanto tersangka, pemanggilan Yasonna Laoly (mantan Menkumham), terus mengejar Harun Masiku dan skandal di baliknya (BLBI), penggerebegan Walikota Semarang Mbak Ita Gunaryati Rahayu.
Itu, kata Dimas, merupakan langkah awal “mengawut awut” PDIP dan akan dilanjutkan dengan deretan kader PDIP lainnya, seperti Anjay M. Priatna (Walikota Cimahi), Sri Hartini (Bupati Klaten), Muhammad Samanhudi Anwar (Wali kota Blitar), yang sudah jadi ‘pasien’ KPK, terkait kasus korupsi proyek pembangunan sekolah, proyek pengadaan pembangunan rumah sakit dan suap jual beli jabatan.
“Itu di Pulau Jawa saja. Belum lagi di luar Jawa,” tutup Dimas Supriyanto. (P-ht)