PRIORITAS, 3/8/25 (Jakarta): Selama bertahun-tahun, air minum dalam kemasan identik dengan produksi lokal. Namun, awal 2025 mengungkap sesuatu yang berbeda.
Indonesia kini semakin sering mendatangkan air dari luar negeri—mulai dari air mineral Prancis, air soda Italia, hingga es batu dari Bahrain. Bukan dalam jumlah kecil, tetapi dengan lonjakan hingga ribuan persen.
Awalnya, peningkatan itu terlihat samar dalam laporan statistik Kementerian Perdagangan (Kemendag). Namun begitu ditelusuri lebih dalam, angka-angka yang muncul membuat banyak analis tertegun.
Data resmi menunjukkan, sebagian besar produk air dan es dari luar negeri kini bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan sudah menjadi bagian dari konsumsi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam waktu lima bulan saja, volume dan nilai impornya meledak.
Apa sebenarnya yang terjadi? Inilah lima temuan riset paling mencolok dari data resmi pemerintah yang bisa menjelaskan perubahan konsumsi ini.
1. Air tanpa gula China
Kategori HS22019090, yaitu air tanpa tambahan gula, menunjukkan pola paling ekstrem. Selama Januari hingga Mei 2025, nilai impornya naik 7.172% dibandingkan tahun sebelumnya. Volume meningkat menjadi 11,99 ton, hampir seluruhnya berasal dari China.
China, yang dulunya tidak tercatat sebagai eksportir utama untuk kategori ini, kini menyumbang 10,93 ton dari total volume. Artinya, sekitar 98% dari air tanpa gula yang diimpor Indonesia berasal dari satu negara tersebut. Lonjakan ini sulit dijelaskan hanya dengan permintaan reguler. Ada kemungkinan bahwa pelabelan merek atau strategi distribusi menjadi pemicunya.
2. Air soda Italia-Prancis
HS22011020, atau kategori air soda dan aerated water, juga menunjukkan gejala serupa. Nilai impornya naik 213,23% dan volumenya naik 122,72% menjadi 304 ton. Jika ditelusuri lebih dalam, lonjakan terbesar datang dari Italia dan Prancis. Italia mengekspor 164,6 ton, naik lima kali lipat lebih.
Prancis menyumbang 84,1 ton, juga naik tiga kali lipat. Secara tidak langsung, ini menunjukkan bahwa preferensi terhadap air soda impor, khususnya dari Eropa, mulai terbentuk di pasar domestik—mungkin melalui tren gaya hidup urban atau kampanye promosi.
3. Air mineral dari Prancis
HS22011010 adalah kategori air mineral yang paling dikenal masyarakat. Namun kini, wajah produsennya mulai berubah. Selama periode riset, nilai impor air mineral Indonesia mencapai US$ 1,742 juta, naik 148,48%. Volumenya pun tumbuh menjadi 1.707 ton.
Yang menarik, Prancis mengambil alih panggung utama. Negara ini mengirimkan 826,1 ton air mineral, naik 949.424% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Tidak hanya volume, nilai ekspornya juga melonjak 11.233% menjadi hampir US$ 0,87 juta. Prancis kini menempati posisi puncak dalam penyediaan air minum premium di Indonesia, meninggalkan Fiji, Italia, hingga Jepang di bawahnya.
4. Es Bahrain dan UAE
Impor es dan salju mungkin terdengar aneh bagi sebagian besar orang. Tapi data kategori HS22019010 justru memperlihatkan tren yang mengejutkan. Volume impornya naik 709,1% menjadi 367,2 ton, dengan nilai mencapai US$ 0,2636 juta.
Bahrain berada di urutan teratas, mengirimkan 213 ton, naik 674%. Uni Emirat Arab juga tidak kalah mencolok dengan peningkatan volume sebesar 2.206%.
Besarnya lonjakan dari kawasan Timur Tengah membuka pertanyaan baru: apakah es tersebut digunakan untuk industri khusus, hotel bintang lima, atau konsumsi rumah tangga kelas atas?
5. Tren konsumsi air premium
Jika lima data sebelumnya dilihat sebagai bagian yang terpisah, maka satu benang merah menyatukannya: semuanya adalah air premium. Air dari Eropa dan Timur Tengah tidak murah. Mereka dipasarkan dengan merek yang mengandalkan kualitas, kemasan mewah, dan identitas negara asal.
Fenomena ini merefleksikan adanya pergeseran konsumsi di masyarakat. Bukan hanya soal kebutuhan hidrasi, tetapi juga soal gaya hidup dan persepsi kualitas.
Ketika kelas menengah atas tumbuh, permintaan terhadap produk luar negeri ikut meningkat. Dalam konteks ini, air bukan lagi sekadar air—melainkan simbol status dan gaya hidup. (P-Khalied M)