Tonton Youtube BP

Persaingan jurnalisme antara ketepatan informasi dan kecepatan publikasi

Zamir Ambia
7 Oct 2025 15:56
Humaniora 0 112
3 minutes reading

Oleh Khaylila Safitri

PRIORITAS, 7/10/25 (Jakarta): Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melaporkan, selama 2024 lebih dari 75 persen media online di Indonesia memanfaatkan media sosial sebagai saluran utama distribusi berita. Fenomena ini menandakan perubahan signifikan dalam pola konsumsi informasi masyarakat.

Laporan Reuters Digital News Report 2024 mencatat sekitar 61% pengguna internet di Indonesia memperoleh berita melalui media sosial. Di antara platform tersebut, Instagram (43 persen), TikTok (28 persen), serta YouTube (21 persen) menjadi sumber paling sering digunakan.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Rani Dwi Lestari dalam Jurnal IPTEK-KOM (2020), yang menyebut media sosial berperan sebagai jembatan interaktif antara media, jurnalis, dan audiens. Kehadirannya memungkinkan komunikasi dua arah yang mempercepat distribusi informasi.

Perubahan tren itu tampak jelas pada Journalistic Expo Day 2025 di Politeknik Negeri Jakarta. Mahasiswa Jurnalistik menampilkan beragam karya berbasis digital—mulai dari video kreatif hingga platform media sosial penyebar berita. Dalam acara tersebut, Ares, CEO Expectaiment, menilai jurnalis muda kini dituntut menguasai kemampuan visual serta memahami cara kerja algoritma dalam penyebaran konten.

“Sekarang berita bukan cuma dibaca, tapi juga dilihat dan didengar. Tantangannya bikin berita tetap informatif tapi menarik buat generasi Z,” ucap Ares.

Ciri berita di media sosial kini meliputi:

  • Video pendek berdurasi di bawah satu menit.
  • Infografis berisi data singkat dan kontekstual.
  • Caption interaktif dengan gaya ringan dan persuasif.

Di balik kemajuan jurnalisme digital, muncul tantangan serius terkait akuntabilitas dan etika. Penelitian Lailatul Maflucha serta Qoni’ah Nur Wijayanti (2024) mengungkap bahwa dorongan untuk mempercepat produksi konten di media sosial kerap membuat proses verifikasi terabaikan, sehingga memicu meningkatnya potensi penyebaran informasi keliru.

Menurut data Dewan Pers 2025, tercatat lebih dari 500 laporan pelanggaran kode etik pada media daring. Sebagian besar kasus disebabkan oleh tekanan untuk segera mempublikasikan berita dan minimnya proses penyuntingan.

Keseimbangan dengan ketetapan fakta berita

Moh. Salman Alfarisi, Product Experience di PaveNow, menekankan perlunya menjaga keseimbangan antara kecepatan penyajian berita dengan ketepatan fakta agar kredibilitas jurnalisme tetap terjaga.

“Kita bisa menembus audiens lewat media sosial dengan cepat. Tapi tanpa fondasi etika, kecepatan itu bisa jadi bumerang,” ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat pun harus cerdas dalam memilah informasi. “Kalau publiknya tidak kritis, hoaks akan terus punya tempat,” tegasnya.

Penelitian Levinda Melati (2025) mengenai efektivitas Instagram sebagai wadah jurnalisme visual menunjukkan bahwa platform berbasis gambar dan video pendek mampu menarik perhatian audiens berusia 18–25 tahun hingga tiga kali lebih besar dibandingkan media yang mengandalkan teks.

Hasil ini konsisten dengan laporan We Are Social (2025) yang mencatat terdapat 142 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, setara 52,4 persen dari total populasi. Data tersebut menegaskan bahwa ranah digital kini menjadi ekosistem utama bagi penyebaran informasi, hiburan, serta edukasi masyarakat.

“Lima tahun ke depan, media sosial bukan cuma tempat distribusi berita, tapi ruang utama membangun kredibilitas media,” imbuh Salman.

Kini, media sosial bukan lagi pelengkap. Ia telah menjelma menjadi poros utama dalam jurnalisme Indonesia. Tempat di mana kecepatan, kreativitas, dan tanggung jawab publik bertemu untuk menjaga kebenaran di era digital. (P-Khaylila Safitri)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x