Islah menilai, generasi muda saat ini hidup dalam sebuah paradoks—mereka terkoneksi dengan seluruh dunia, namun kehilangan keterikatan sosial di kehidupan nyata. Ia menjelaskan, banyak remaja tidak memiliki ruang yang aman untuk mengekspresikan emosi, menyampaikan pendapat, atau mengkritik kondisi sosial tanpa rasa takut akan penilaian orang lain. Akibatnya, sebagian dari mereka mencari pelarian di dunia digital yang dipenuhi dengan narasi kebencian.
“Ketika ruang-ruang sosial tertutup, ekspresi bisa meledak dalam bentuk ekstrem, yakni tawuran, perundungan, bahkan bom rakitan seperti di SMAN 72. Ini bukan hanya kegagalan individu, tapi kegagalan kolektif kita dalam mendidik moral generasi muda,” nilainya.
Tidak bisa menghandalkan negara
Menurut Islah, pencegahan ekstremisme tidak bisa hanya mengandalkan negara atau aparat keamanan.
“Pengawasan sosial harus dimulai dari keluarga, RT, RW, sekolah, hingga komunitas keagamaan. Semua harus kembali aktif membimbing dan menanamkan nilai kemanusiaan,” katanya.
Ia juga mengingatkan, kontra-radikalisasi tak cukup dengan ceramah normatif. Diperlukan narasi keagamaan yang humanis, menekankan cinta kasih, empati, dan solidaritas. “Anak muda lebih tersentuh oleh keteladanan dan dialog yang relevan dengan realitas mereka, bukan dogma yang menggurui,” ujarnya.
Islah mencontohkan bagaimana beberapa negara maju memperkuat pendidikan karakter berbasis empati dan digital literasi sejak dini. “Indonesia harus belajar membangun benteng moral jauh lebih efektif daripada memperkuat pagar keamanan setelah tragedi,” tambahnya.
Miskin empati
Terpisah menurut Ketua Umum Poros Pemuda Indonesia Muhlis Ali, kasus ledakan di SMAN 72 menjadi cermin buram zaman yang serba cepat tetapi miskin empati. Dunia digital memberi akses luas pada pengetahuan, tetapi juga membuka pintu pada ideologi kebencian yang menyamar sebagai hiburan, meme, atau permainan. Ketika bimbingan moral melemah, batas antara ekspresi dan kekerasan kian tipis.
“Tragedi ini memanggil kesadaran kolektif bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai akademik, tetapi juga pembentukan jiwa dan karakter. Orang tua, guru, dan masyarakat perlu menumbuhkan kembali budaya peduli, saling mendengar, dan tidak menyepelekan tanda-tanda kesepian atau kemarahan anak,” jelas Muhlis Ali saat dikonfirmasi, Rabu (12/11/25).
Muhlis menjelaskan publik diingatkan, pencegahan sejati dimulai dari hal paling sederhana, tetapi perhatian dan empati terhadap sesama. “Radikalisme tidak lahir dari ideologi semata, tetapi dari rasa kehilangan arah, ketika anak muda merasa dunia tidak lagi mendengarkan mereka,” kata Muhlis.
Peristiwa ledakan terjadi pada Jumat (7/11/25) sekitar pukul 12.15 WIB, bertepatan dengan waktu salat Jumat di masjid sekolah yang berlokasi di kawasan Kodamar TNI Angkatan Laut, Kelapa Gading. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, dua ledakan tiba-tiba mengguncang area tersebut. Kepanikan pun melanda, membuat puluhan siswa dan guru berhamburan keluar. Suara ledakan juga terdengar hingga ke wilayah sekitar sekolah.
Tim Brimob Polda Metro Jaya yang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) menemukan dua titik kawah ledakan di dalam masjid, menunjukkan, dua bom rakitan meledak hampir bersamaan. Dari hasil penyisiran, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa serpihan plastik, paku, potongan tas, serta saklar elektrik yang diduga menjadi pemicu. Analisis Puslabfor kemudian mengonfirmasi, bahan peledak menggunakan potasium klorat dengan daya ledak sedang dan diperkuat empat baterai AAAA bertegangan total 6 volt.
“Ledakan berasal dari dua perangkat aktif yang meledak hampir bersamaan. Efek kejutnya menimbulkan luka robek dan gangguan pendengaran bagi korban,” ujar Kombes Henik Maryanto, Dansat Brimob Polda Metro Jaya.
Selain di masjid, tim penjinak bom juga menemukan empat perangkat lain di taman baca dan bank sampah sekolah. Dua di antaranya gagal meledak sempurna, sementara dua lainnya berhasil dijinakkan. Temuan ini menegaskan, pelaku telah merakit sejumlah alat peledak dan menempatkannya di beberapa titik strategis di lingkungan sekolah.
Seorang siswa aktif
Hasil penyelidikan mengungkap fakta mengejutkan. Pelaku ternyata seorang siswa aktif SMAN 72 berusia 17 tahun. Saat menggeledah rumahnya, Densus 88 Antiteror Polri menemukan catatan pribadi, sketsa rancangan bom, dan sejumlah simbol serta nama tokoh ekstremis dunia yang tertulis pada senjata mainan milik pelaku.
Pejabat PPID Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan di senjata replika itu tercatat sedikitnya enam nama pelaku penembakan massal internasional di antaranya, Eric Harris dan Dylan Klebold (Columbine High School, AS), Dylann Roof (Charleston Church, AS), Brenton Tarrant (Christchurch, Selandia Baru), hingga Alexandre Bissonnette (Quebec Mosque, Kanada). Semua dikenal sebagai pelaku kejahatan bermotif kebencian dan supremasi rasial.
“Temuan ini menandakan adanya paparan ideologi ekstrem melalui ruang digital. Pelaku tampaknya mengidolakan figur-figur kekerasan yang ia kenal lewat media daring atau dark web,” ujar Mayndra, Selasa (11/11/25).
Polisi kini menelusuri jejak digital serta komunitas daring yang diikuti oleh pelaku. Berdasarkan dugaan awal, pelaku diketahui aktif di forum anonim bertema kekerasan dan militerisme yang banyak beredar di luar negeri. Melalui ruang virtual tersebut, ia diduga menemukan bentuk penerimaan diri yang tidak ia dapatkan di kehidupan nyata.
Tekanan psikologis
Hasil pemeriksaan awal juga mengungkap adanya sejumlah catatan pribadi milik pelaku yang menunjukkan tekanan psikologis, rasa frustrasi, serta kemarahan terhadap lingkungan sekolahnya. Dalam beberapa tulisan, terlihat pengalaman tidak menyenangkan bersama teman-teman sebayanya, meskipun tidak ada indikasi jelas mengenai terjadinya perundungan berat.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Bhudi Hermanto menyebutkan, tulisan dan gambar dalam buku pelaku menunjukkan adanya konflik batin yang tidak tersalurkan. “Ada bentuk ekspresi ketidaksukaan dan rasa kecewa, tetapi tidak frontal. Kalau lingkungan lebih peka membaca tanda-tanda itu, mungkin tragedi ini bisa dicegah,” ujarnya.
Polisi menegaskan pelaku bertindak sendirian, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh atau panduan dari pihak lain melalui internet. Karena itu, penyelidikan kini juga melibatkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kementerian Komdigi) untuk menelusuri konten dan jaringan daring yang diakses pelaku.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menegaskan, kasus ini tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek, misalnya perundungan di lingkungan sekolah. Ia menjelaskan, tindakan ekstrem yang dilakukan seorang anak biasanya merupakan hasil dari gabungan berbagai faktor, seperti tekanan sosial, pengaruh dunia digital, serta lemahnya pengendalian emosi.
“Kami menduga ada pengaruh signifikan dari tontonan di media sosial dan game online yang mengandung unsur kekerasan. Karena itu, KPAI akan berkoordinasi dengan Komdigi untuk memperketat pengawasan terhadap konten digital yang dikonsumsi anak-anak,” jelas Diyah, Selasa (11/11/25).
Ia menegaskan, dunia digital kini telah menjadi ruang sosial baru bagi anak-anak, di mana batas antara realitas dan fantasi sering kabur. “Ketika anak kehilangan arah moral dan spiritual, ruang maya bisa menjadi tempat mencari identitas, tetapi sekaligus ruang paling berbahaya bila tidak ada bimbingan,” pungkasnya. (P-Zamir)
No Comments