PRIORITAS, 4/4/25 (Jakarta): Kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengejutkan banyak pihak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, tarif impor untuk Indonesia ditetapkan sebesar 32 persen, meskipun sebelumnya sempat disebutkan angka 64 persen.
Ekonom Senior, Fitra Faisal menjelaskan tarif AS terhadap Indonesia dihitung berdasarkan defisit perdagangan sebesar 18 miliar USD. “Dibandingkan dengan total impor 28 miliar USD, menghasilkan angka 64 persen yang kemudian diterapkan hanya 32 persen,” tuturnya, Jumat (4/4/25), dikutip dari rri.co.id.
Kebijakan ini berdampak besar pada industri padat karya seperti elektronik dan furnitur, berisiko menambah tekanan dan meningkatkan PHK hingga 60 ribu pekerja.
Bernegosiasi dengan AS
Fitra menyarankan Indonesia tidak melakukan retaliasi seperti China atau Kanada. Sebagai negara dengan skala perdagangan lebih kecil, langkah terbaik adalah bernegosiasi dengan AS.
AS mempertimbangkan beberapa faktor dalam kebijakan ini, termasuk hambatan non-tarif dan sistem perpajakan, yang sebenarnya masih bisa dinegosiasikan. Vietnam telah mengirim tim negosiasi ke AS untuk mengantisipasi dampaknya.
Fitra menekankan, langkah nyata harus segera terlihat sebelum pasar saham kembali bergejolak pada hari Selasa (8/4/25) mendatang. “Jika tidak, Indonesia bisa mengalami penurunan indeks saham yang signifikan,” ucapnya.
Pasar saham global merespons kebijakan tarif ini secara negatif, menyebabkan indeks regional anjlok, hingga 6 persen dalam sehari.
Memanfaatkan harga saham
Sementara itu, investor asing yang mendominasi pasar modal Indonesia berpeluang besar masuk, memanfaatkan harga saham yang turun akibat tekanan beberapa pekan terakhir dan depresiasi rupiah.
Pasar modal Indonesia semakin menarik bagi investor berdenominasi dolar AS. “Saham-saham perbankan dan emiten blue-chip yang baru saja membagikan dividen besar pun menjadi daya tarik tersendiri,” katanya. (P-Zamir)