PRIORITAS, 30/6/25 (Jakarta): Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan proyeksi baru subsidi listrik tahun 2025 sebesar Rp90,32 triliun. Angka ini naik dari target awal yang tercantum dalam APBN, yaitu Rp87,72 triliun.
Kenaikan proyeksi tersebut bukan tanpa alasan. Kementerian ESDM menyebut ketidakstabilan nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebagai faktor utama pendorong lonjakan anggaran.
“Ada hal yang mendasari kenapa outlook-nya lebih tinggi dari yang sudah disepakati dalam APBN. Ini terutama berkaitan dengan kurs dan ICP, ini sangat volatile dan tidak bisa kita kendalikan,” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Senin (30/6/25).
Selain faktor eksternal, tren konsumsi listrik dalam negeri juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam lima tahun terakhir.
Volume penjualan listrik nasional tercatat naik dari 55 TWh pada 2020 menjadi 71 TWh di 2024. Sementara itu, untuk tahun depan, target awal sebesar 73,13 TWh kini direvisi naik menjadi 76,63 TWh berdasarkan perkembangan terbaru.
Perubahan ini mengindikasikan adanya pemulihan aktivitas ekonomi yang mendorong pertumbuhan konsumsi listrik, khususnya di sektor rumah tangga dan usaha kecil.
Sejalan dengan kenaikan penjualan, beban subsidi pun ikut meningkat. Kementerian ESDM melaporkan bahwa hingga Mei 2025, realisasi subsidi listrik telah mencapai Rp34,59 triliun, dengan volume penjualan 31,17 TWh.
Seperti dikutip Beritaprioritas dari Antara, jika tren tersebut berlanjut, alokasi Rp90,32 triliun dalam outlook 2025 diperkirakan akan terserap sepenuhnya.
Sebagian besar subsidi masih ditujukan untuk kelompok rumah tangga berdaya rendah. Data menunjukkan 67,49 persen subsidi diberikan kepada pelanggan 450 VA dan 900 VA, yang merupakan segmen masyarakat berpenghasilan rendah.
Hingga akhir Mei 2025, jumlah pelanggan 450 VA tercatat sebanyak 24,75 juta, sementara pelanggan 900 VA tidak mampu mencapai 10,49 juta dari total 85,40 juta pelanggan rumah tangga.
Meskipun demikian, pemerintah memproyeksikan proporsi subsidi untuk rumah tangga sedikit menurun menjadi 64,1 persen dalam APBN 2025.
Perkembangan ini menegaskan dilema yang dihadapi pemerintah: menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi, namun di sisi lain menghadapi tekanan fiskal yang terus meningkat akibat variabel eksternal dan permintaan domestik. (P-Khalied Malvino)
No Comments