25.2 C
Jakarta
Monday, March 10, 2025

    Rapat BULD DPD RI: RUU Masyarakat Hukum Adat didesak segera disahkan jadi Undang-Undang

    Terkait

    Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum terkait pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat. (Ist)

    PRIORITAS, 6/3/25 (Jakarta): Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat mendesak segera disahkan menjadi undang-undang (UU) sebagai landasan bagi daerah untuk membentuk perda masyarakat adat.

    “Apakah kita membutuhkan RUU MHA (Masyarakat Hukum Adat) atau RUU Pengakuan dan Pelindungan Hak-hak Masyarakat adat? Ke depan, politik hukum kita ialah pengakuan dan pelindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya,” ujar R Yando Zakaria, Peneliti Pusat Kajian Etnografi Masyarakat Adat (Pustaka) dan Peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA).

    Pernyataan itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Ruang Rapat Mataram lantai 2 Gedung B DPD RI Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/25), dan informasi tersebut diterima Beritaprioritas.com Kamis (6/3/25).

    RDPU BULD DPD RI membahas
    hasil pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda) tentang masyarakat adat.
    Dalam kesempatan itu, R Yando Zakaria menegaskan arah kebijakan hukum nasional dan daerah di masa depan. Dalam arah kebijakan hukum tersebut, pengesahkan RUU tentang pengakuan dan pelindungan hak-hak masyarakat adat mendesak segera disahkan. RUU tersebut merinci mekanisme pengadimistrasian pengakuan dan pelindungan hak-hak masyarakat adat.

    Menurutnya, negara sudah memberikan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya melalui Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Namun, negara belum memberikan pengakuan dan pelindungan hak-hak masyarakat adat melalui undang-undang (UU).

    DPD RI periode sekarang tinggal melanjutkan perjuangan DPD RI periode yang lalu. Karena di periode yang lalu, Komite I DPD RI berhasil untuk menyusun RUU Pengakuan dan Pelindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

    Diharapkan, DPD RI bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden segera membahas dan mengesahkan RUU tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

    RUU tentang Masyarakat Hukum Adat diusulkan DPR RI tahun 2014, sedangkan RUU tentang Pengakuan dan Pelindangan Hak-hak Masyarakat Adat diusulkan DPD RI tahun 2018. Namun, kedua RUU tak kunjung dibahas dan disahkan menjadi UU meskipun dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2010.

    Berikutnya, R Yando Zakaria mengatakan, arah kebijakan hukum nasional dan daerah di masa depan ialah perda yang mengatur keberadaan subyek hak masyarakat adat
    (struktur luar dan struktur dalam) serta obyek hak masyarakat adat (individu dan komunal). Maka setiap pemerintah kabupaten didorong untuk menyusun perda yang merinci subyek dan obyek hak masyarakat adat. “Kita membutuhkan perda mengatur keberadaan subyek dan obyek hak masyarakat adat.”

    Selain R Yando Zakaria, RDPU BULD DPD RI juga menghadirkan Direktur Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Joeni Arianto Kurniawan.

    Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI Stefanus BAN Liow (senator asal Sulawesi Utara) memimpin rapat tersebut bersama dua Wakil Ketua BULD DPD RI, yaitu Abdul Hamid (senator asal Riau), dan Marthin Billa (senator asal Kalimantan Utara).

    Dalam pengantarnya, Abdul Hamid menyatakan, BULD DPD RI menggali berbagai aspek kehidupan masyarakat hukum adat sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tetapi implementasinya dalam peraturan perundang-undangan masih terhambat, termasuk dalam peraturan daerah.

    Penghambatnya seperti ketidakjelasan definisi masyarakat hukum adat,
    implementasi peraturan perundang-undangan di daerah yang kurang, konflik kepentingan antara masyarakat hukum adat dan perusahaan, dan partisipasi masyarakat hukum adat yang kurang.

    Joeni Arianto Kurniawan menyarankan agar RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) segera disahkan. Pengesahan RUU MHA mendesak karena masih sporadisnya pengaturan MHA dan hak-hak tradisionalnya. “Sudah di gedung sebelah. Alhamdulillah, segera didorong untuk disahkan,” ujarnya.

    Pengesahan RUU MHA memiliki urgensi karena lex specialis turunan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, mengkoherensi berbagai aturan MHA sebagai kesatuan makna yang utuh antara bagian-bagian yang saling berkaitan, serta landasan dan rujuan pengaturan turunan di tingkat lokal, khususnya yang berbentuk perda.

    Selain itu, ia menyarankan untuk mengubah sistem pengakuan eksistensi MHA dari rezim legislasi daerah, berupa pengakuan dalam bentuk perda, ke rezim hukum administrasi, berupa pendaftaran kepada instansi pemerintah terkait (Kementerian Dalam Negeri).
    Kemudian, ia menyarankan untuk memfokuskan perda sebagai media pengaturan integrasi kesatuan MHA di suatu wilayah dengan pemerintah daerah setempat.

    “Pengakuan eksistensi MHA jangan di perda. Pindahkan ke rezim hukum administrasi melalui pendaftaran. Jika mereka didaftar, aspirasi ditolak, mereka bisa menggugat ke PTUN,” ucapnya.

    Sejumlah anggota BULD DPD RI memberikan tanggapan. Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (senator asal Bali) menyinggung urgensi pengakuan dan perlindungan hakhak masyarakat adat di Bali. “Bagaimana menjaga masyarakat adat di Bali? Jika UU tidak gol, minimal pemda mengakui dan melindungi masyarakat adat. Jika tidak dijaga, lupakan saja Bali sebagai tujuan wisata.”
    Darmansyah Husein (senator asal Kepulauan Bangka Belitung) menegaskan pentingnya kajian yuridis, sosiologis, anthropologis dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Sementara itu Ahmad Bastian Sy (senator asal Lampung) menyinggung hukum adat sebagai sumber hukum nasional.

    Sedangkan Abdul Hamid (senator asal Riau) menerangkan bahwa di Riau antara sultan ground dan tanah adat jelas batasnya. “Tapi, masuknya perusahaan mencaplok tanah adat,” ucapnya.

    Menurutnya, pengaturan masyarakat adat memang berbeda. “Karena lain padang lain ilalang,” tandasnya.

    BULD DPD RI bertugas memantau dan mengevaluasi Ranperda dan Perda dalam rangka harmonisasi regulasi pusat-daerah, memperhatikan aspirasi daerah sejalan dengan pusat sekaligus mendorong regulasi pusat memperhatikan aspirasi daerah.

    Dalam tahun sidang ini, BULD DPD RI fokus kepada Ranperda dan Perda yang mengatur masyarakat adat. (P-Jeffry P)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini