Tonton Youtube BP

Piyu Padi usul ke Fraksi Golkar: Royalti pecipta lagu 10 persen dari honor artis

Herling Tumbel
25 Sep 2025 06:06
4 minutes reading

PRIORITAS, 24/9/25 (Jakarta): Musisi yang menjabat Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) Satriyo Yudi Wahono alias Piyu Padi, mengusulkan royalti bagi pencipta lagu sebesar 10 persen dari honorarium artis (pro rata per lagu).

Usulan lain, royalti tersebut sebesar dua persen dari median harga tiket dikalikan kapasitas venue (pro rata per lagu). Sementara untuk acara non-tiket seperti pernikahan, opsi tarif yang diusulkan adalah 10 persen dari honorarium artis atau band.

Hal itu mengemuka dalam audiensi AKSI dengan Fraksi Partai Golkar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/25). Pada dasarnya, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Sarmuji dan Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) sepakat bahwa perlu ada perbaikan dalam sistem royalti lagu di Indonesia agar lebih transparan, berkeadilan, dan mudah diakses.

Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.

“Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” kata Sarmuji dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, seperti dilansir dari Antara.

Mendukung aspirasi pencipta lagu

Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.

“Pada prinsipnya kami mendukung apa yang menjadi aspirasi atau tuntutan para pencipta lagu. Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha” ujarnya.

Ia menilai perbaikan dalam sistem royalti juga akan mempermudah dunia usaha untuk membayar royalti sehingga bisa menggunakan karya musik secara sah.

“Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain, mudah meminta izin untuk menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegas Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu.

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.

“Kami ingin agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Justru sistem yang sederhana dan jelas akan membuat mereka lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya,” ujarnya.

Revisi Undang-Undang

Sementara itu, Ketua Umum AKSI, Piyu, yang juga gitaris grup musik Padi Reborn, menyampaikan perlunya revisi Undang-Undang Hak Cipta. Itu diperlukan agar perlindungan hukum bagi pencipta musik lebih nyata.

Ia menekankan bahwa royalti konser seharusnya dibayarkan sebelum acara dimulai. “Tanpa lagu, tidak ada konser. Royalti bukan sekadar beban promotor, tapi tanggung jawab bersama artis, manajemen, dan penyelenggara untuk memastikan hak ekonomi pencipta terpenuhi,” ujarnya.

AKSI dalam paparannya menawarkan skema Hybrid System, yakni kombinasi blanket license (untuk media penyiaran, kafe, hotel) dengan direct license (untuk konser). Menurut Piyu, pola ini sudah lazim diterapkan secara internasional dan lebih adil bagi pencipta musik.

Dalam kaitan soal tarif, AKSI menilai skema dua persen dari penjualan tiket selama ini tidak efektif. Mereka mengusulkan alternatif, yakni 10 persen dari honorarium artis (pro rata per lagu) atau dua persen dari median harga tiket dikalikan kapasitas venue (pro rata per lagu).

Sedangkan untuk acara non-tiket seperti pernikahan, opsi tarif yang diusulkan adalah 10 persen dari honorarium artis atau band.

Perlindungan nyata

Dalam kesempatan yang sama, Piyu juga menekankan pentingnya aturan jelas terkait hak moral pencipta, digitalisasi sistem penarikan royalti berbasis langganan, serta pengawasan terhadap pembajakan digital dan penggunaan kecerdasan buatan (AI).

“Negara wajib memberi perlindungan nyata, bukan sekadar retorika. Kreativitas harus berjalan seiring kepastian hukum,” ucapnya.

Dalam audiensi tersebut, Bendahara Fraksi Golkar DPR RI yang juga Wakil Ketua Komisi III Sari Yuliati menyoroti kebingungan dalam tata kelola Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

“Cara LMKN mengumpulkan dan mendistribusikan royalti masih membingungkan. Kami siap mengawal agar penegakan hukum berjalan,” janjinya.

Sementara anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Ilham Permana, menambahkan bahwa ekosistem musik nasional harus dibangun lebih sehat.

“Kami berpihak pada pencipta lagu. Harus ada ekosistem yang memberikan kepastian, transparansi, dan keadilan bagi semua pihak,” ujarnya.

Audiensi  yang juga dihadiri Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Dewi Asmara itu menjadi ruang dialog konstruktif antara legislator dan para musisi-komposer.

Diskusi berlangsung hangat dengan fokus membangun tata kelola royalti yang lebih baik, tidak hanya untuk pencipta, tetapi juga untuk industri hiburan secara keseluruhan.

Baik Fraksi Partai Golkar maupun AKSI sepakat bahwa langkah nyata perlu segera diambil melalui revisi regulasi, pembenahan lembaga pengelola royalti, serta inovasi sistem digital.

Dengan begitu, hak ekonomi pencipta lagu dapat terlindungi, sekaligus mendorong industri musik nasional tumbuh lebih sehat dan berdaya saing. (P-ht)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x