Jakarta, 18/9/20 (SOLUSSInews.com) – Berdasarkan fakta terjadinya eskalasi penyebaran Covid-19 yang meluas, Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura, H Djafar Badjeber meminta pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 sebagaimana dijadualkan pada 9 Desember 2020.
Disebutnya, pandemi Covid-19 makin meningkat dan membahayakan keselamatan warga. Apalagi terdapat sekitar 70 orang calon kepala daerah yang terindikasi Covid-19.
“Terus terang tidak ada kepentingan di balik permintaan penundaan terhadap Pilkada 2020 ini. Hanya semata-mata demi kemaslahatan dan keselamatan rakyat Indonesia,” ujar Djafar kepada BeritaSatu.com, Jumat (18/9/20).
Djafar menegaskan, bahaya Pilkada di tengah pandemi dapat dilihat dari berbagai hasil survei dan pendapat masyarakat untuk dapat direnungkan baik manfaat maupun mudharat-nya.
Politikus senior Hanura ini sebagaimana kutipan Cicero, menilai, salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat hukum tertinggi), sehingga dia mempertanyakan bila hukum tertinggi untuk keselamatan rakyat, lantas masih urgen-kah Pilkada 9 Desember 2020 dipaksakan.
Lalu seandainya Pilkada ini tetap dilaksanakan, apakah kita sudah siap dengan ongkos sosial politik yang sangat besar?
Karena menurut dia dari beberapa lembaga survei menyebutkan Pilkada 2020 bisa menjadi skandal demokrasi karena berpotensi berubah menjadi ritual “bunuh diri berjama’ah”.
“Sungguh mengerikan sekali, apalagi jumlah korban terpapar Covid-19 dan meninggal akibat virus ini terus meningkat,” ujar mantan anggota MPR ini.
Kapan sebaiknya dilaksanakan?
Dijelaskan mengutip hasil survei yang dilakukan oleh LP3S baru-baru ini, dengan pertanyaan, kapan sebaiknya Pilkada dilaksanakan? Sebanyak 74,7 responden menjawab sebaiknya diundur ke tahun 2021, lalu 25,3 persen tetap menginginkan pada bulan Desember 2020.
Kemudian terkait pertanyaan urgensi Pilkada dilaksanakan pada Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19? Sebanyak 34,7 persen menjawab sangat tidak urgen, 25,3 persen menjawab tidak urgen, 23,2 persen menjawab kurang urgen, 11,5 persen menjawab urgen, dan 5,3 persen menjawab sangat urgen.
Lalu ketika ditanyakan apa yang semestinya dilakukan pemerintah dalam persoalan Pilkada di tengah wabah Covid-19? Sebanyak 74,7 persen menjawab prioritaskan penyelesaian Covid-19 hingga tuntas, 21,1 persen menjawab laksanakan Pilkada sesuai rencana, 2,1 persen menjawab tidak ada hubungan antara Covid-19 dengan Pilkada, dan 2,1,persen Pilkada dipikirkan nanti saja karena tidak begitu penting.
Opsi B
Melihat hasil survei tersebut dan berbagai lembaga survei lainnya, Djafar menyarankan para calon kepala daerah ditetapkan saja sesuai jadwal pada 23 September 2020, supaya para calon kepala daerah dan pendukungnya tenang.
Namun pelaksanaan Pilkadanya ditunda menjadi 17 Maret 2021, sesuai opsi B dalam RDP Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 30 Maret 2020 lalu.
“Dengan telah ditetapkan nama calon Kepala Daerah di bulan September ini, tidak ada celah “masuk angin” lagi karena calonnya sudah ditetapkan KPU,” tegasnya.
Dasar hukum yang dapat digunakan ialah pasal 201A ayat 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang berbunyi “Pemungutan suara serentak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 201 ayat 6 ditunda karena terjadi bencana non alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 ayat 1”.
Mantan anggota DPRD DKI, menambahkan, pelaksanaan Pilkada Maret 2021 ini juga sambil menunggu vaksin yang rencananya sudah efektif digunakan di bulan Januari, Februari dan Maret 2021.
“Mari kita renungkan bersama, mau ditunda agar rakyat sehat dan selamat atau tetap pilih suksesi,” demikian Djafar Badjeber. (S-BS/jr)