Tonton Youtube BP

Menjaga Keseimbangan di Tengah Riuh Politik Pemilu di Manado

Deky Geruh
4 Nov 2025 17:33
Opini 0
4 minutes reading

Refleksi Satu Tahun Pasca Dilantiknya Para Anggota Legislatif dan Menjelang Satu Tahun Setelah Pemilihan Kepala Daerah

Oleh: Brilliant Johanes Maengko
Ketua Bawaslu Kota Manado

Satu tahun telah berlalu sejak para anggota legislatif hasil Pemilu 2024 resmi dilantik. Kota Manado telah melewati satu fase penting dalam perjalanan demokrasinya—sebuah masa transisi antara euforia kemenangan dan tanggung jawab pelayanan publik.

Dan kini, kita juga menapaki momen reflektif: menjelang satu tahun setelah Pemilihan Kepala Daerah 27 November 2024.

Sebagai Ketua Bawaslu Kota Manado, saya belajar bahwa demokrasi bukan sekadar soal perhitungan suara, tetapi soal bagaimana kepercayaan publik dirawat setelah suara itu dihitung.

Ketika hiruk-pikuk politik mereda, justru di sanalah ujian integritas dimulai—bagi penyelenggara, peserta didalamnya para anggota dewan dan kepala daerah terpilih, dan masyarakat.

Demokrasi yang Hidup, tapi Rentan
Kota Manado dikenal sebagai kota yang hidup dengan dinamika politik yang hangat dan terbuka. Politik di sini tidak pernah dingin; selalu ada diskusi, perdebatan, dan gairah partisipasi warga. Namun, di tengah vitalitas itu, rentan muncul kabut kepentingan yang bisa mengaburkan pandangan tentang kebenaran dan keadilan.

Filsuf Jürgen Habermas mengingatkan bahwa “demokrasi yang sehat memerlukan ruang publik yang rasional, bukan emosional” (Habermas, 1989).

Pesan ini terasa sangat kontekstual bagi kita di Manado: menjaga integritas berarti menolak godaan emosi politik, dan tetap berpijak pada akal sehat, hukum, serta moralitas publik.

Integritas dalam konteks pengawasan pemilu bukan berarti membisu di tengah ketegangan, tetapi berbicara dengan kejujuran dan bertindak dengan keberanian.
Menjadi netral tidak berarti pasif; sebaliknya, itu adalah bentuk aktif dari berpihak pada kebenaran.

Kepemimpinan Muda dan Pelajaran Tentang Integritas
Menjalankan amanah sebagai Ketua Bawaslu di usia muda mengajarkan saya banyak hal: bahwa kedewasaan bukan ditentukan oleh usia, melainkan oleh kemampuan mengelola prinsip dan emosi dalam tekanan.

Guru besar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie pernah menegaskan, “netralitas penyelenggara pemilu adalah ruh dari demokrasi konstitusional” (Asshiddiqie, 2007).

Bagi saya, kalimat itu bukan hanya teori hukum, tetapi cermin moral bagi setiap penyelenggara negara.

Dalam perjalanan setahun terakhir, saya menyaksikan bagaimana kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas pemilu tidak dibangun melalui banyak bicara, tetapi melalui konsistensi tindakan kecil yang jujur dan adil.

Di tengah tekanan sosial, relasi politik, atau kedekatan pribadi, menjaga integritas seringkali berarti berani menolak kenyamanan demi kebenaran.

Refleksi: Antara Legitimasi dan Kepercayaan
Ketika anggota legislatif telah duduk di kursinya, dan kepala daerah mempersiapkan langkah kebijakan baru, pertanyaan penting muncul:
Apakah demokrasi kita sudah menghasilkan legitimasi yang seimbang dengan kepercayaan publik?

Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, menulis bahwa “demokrasi bukan hanya tentang pemilihan, tetapi tentang percakapan yang beradab” (Sen, 1999). Demokrasi yang matang tidak berhenti di bilik suara; ia tumbuh dalam ruang dialog publik yang sehat.

Tugas Bawaslu tidak berhenti di pengawasan masa kampanye.
Justru setelah itu, kami berupaya membangun literasi politik warga—agar setiap orang tidak hanya memilih, tetapi juga memahami makna dari pilihan itu.
Sebab demokrasi sejati tumbuh bukan dari kemenangan, melainkan dari kesadaran.

Menatap Tahun Kedua Demokrasi Lokal
Menjaga integritas bukan pekerjaan musiman, tetapi sebuah panggilan moral yang terus diperbarui.
Menjelang satu tahun setelah Pilkada 2024, Kota Manado perlu terus memperkuat budaya politik yang beretika, santun, dan terbuka terhadap kritik.

Sebagaimana Bung Hatta pernah berkata, “Kekuasaan tanpa moral hanyalah keangkuhan” (Hatta, 1954). Integritas adalah moralitas yang menuntun arah politik agar tidak kehilangan nurani.

Dan selama nilai itu dijaga—oleh penyelenggara, peserta, dan rakyat—demokrasi kita akan terus menemukan jalannya menuju kematangan.

Refleksi ini bukan sekadar catatan perjalanan pribadi, melainkan ajakan bersama untuk terus menumbuhkan demokrasi yang berintegritas di Kota Manado.

Satu tahun pasca pelantikan legislatif, dan menjelang satu tahun setelah Pilkada, kita semua dipanggil untuk meneguhkan komitmen yang sama:
menjadi penjaga keseimbangan di tengah riuh politik.

Referensi:
Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.
Asshiddiqie, J. (2007). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
Hatta, M. (1954). Demokrasi Kita. Pidato, diterbitkan dalam kumpulan esai politik Bung Hatta.

Materi merupakan pendapat dan menjadi tanggung jawab penulis, serta tidak mewakili sikap maupun kebijakan Redaksi BeritaPrioritas.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x