Makna falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou” dalam konteks demokrasi Indonesia kekinian: Sebuah kajian politik. (dok. Pribadi)Oleh: Pdt. Jeirry Sumampow, S.Th.,
Pengamat Politik/Direktur Eksekutif Sam Ratulangi Institut
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau Sam Ratulangi bukan sekadar pahlawan nasional dari Minahasa, tetapi juga seorang pemikir besar yang mampu menjembatani nilai-nilai lokal dengan cita-cita kemanusiaan universal. Salah satu gagasan paling monumental yang dipopulerkannya adalah falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou” (ST4), yang secara harfiah berarti “manusia hidup untuk memanusiakan manusia.” Falsafah ini lahir dari suku Minahasa, dimana Ratulangi berasal.
Dalam kerangka itu, ungkapan ini tentu bukan sekadar semboyan moral, melainkan sebuah pandangan hidup dari suku Minahasa, yang juga mengandung muatan politik yang mendalam. Sebab di dalamnya tersirat visi tentang masyarakat yang egaliter, saling menghargai martabat sesama, menghormati kebebasan dan memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupan bersama.
Dalam konteks demokrasi Indonesia masa kini, falsafah ini menjadi semakin penting untuk direnungkan kembali. Demokrasi kita memang berhasil membangun sistem elektoral yang rutin dan prosedural, tetapi belum sepenuhnya memanusiakan manusia. Demokrasi kita masih sering terperangkap dalam politik transaksional, kekuasaan yang elitis, dan budaya yang menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dimensi politik dari falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou”
Falsafah ST4 dapat dibaca sebagai gagasan politik yang berorientasi pada humanisme demokratis. Dalam kerangka ini, politik bukanlah alat dominasi, tetapi sarana untuk memperjuangkan harkat manusia dan kesejahteraan bersama. Ada beberapa dimensi politik yang dapat digali dari falsafah ini:
1. Politik sebagai Ruang Pemuliaan Martabat Manusia
– Falsafah ini menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh kegiatan sosial dan politik. Artinya, setiap kebijakan dan tindakan politik harus diarahkan untuk memuliakan kehidupan manusia, bukan memperalatnya demi kepentingan kelompok atau kekuasaan. Demokrasi yang sejati bukan hanya soal suara rakyat, tetapi juga penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proses politik.
2. Politik sebagai Tanggung Jawab Sosial
– Dalam falsafah ST4, manusia sejati adalah manusia yang hidup bagi sesamanya. Maka, dalam politik, pejabat publik atau pemimpin seharusnya menjadi pelayan kemanusiaan, bukan sebagai penguasa. Konsep ini menantang praktik politik kekuasaan yang pragmatis dan egoistik, serta menegaskan bahwa jabatan publik adalah amanah untuk “menghidupkan kemanusiaan” di tengah masyarakat.
3. Politik sebagai Pendidikan Kemanusiaan
– Demokrasi idealnya membentuk warga negara yang cerdas, kritis, dan beretika. Falsafah ST4 mendorong politik sebagai wahana pendidikan moral dan kebangsaan. Ia menolak politik kebencian, politik uang, politik penyanderaan, dan politik pembodohan yang kini banyak mewarnai ruang publik demokrasi kita.
Demokrasi Indonesia: Antara proseduralisme dan krisis kemanusiaan
Reformasi 1998 membawa Indonesia menuju sistem demokrasi elektoral yang relatif mapan. Namun, perkembangan demokrasi belakangan ini memperlihatkan paradoks. Di satu sisi, demokrasi berjalan secara rutin melalui pemilu dan pergantian kekuasaan; namun di sisi lain, nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban publik justru terus tergerus.
Beberapa problem nyata dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Demokrasi yang Dikuasai Oligarki dan Kartel Politik
– Kekuasaan politik kini banyak didominasi oleh segelintir elit dan jaringan ekonomi. Politik kehilangan fungsi moralnya karena dijalankan atas dasar transaksi kepentingan. Dalam konteks ini, falsafah ST4 mengingatkan bahwa politik seharusnya “memanusiakan,” bukan “memperalat manusia.”
2. Degradasi Etika Publik dan Individualisme Politik
– Falsafah ST4 mengajarkan kebersamaan, gotong royong, dan saling menumbuhkan. Namun, dalam praktik demokrasi kini, nilai-nilai tersebut digantikan oleh egoisme politik dan orientasi pribadi. Politik kehilangan unsur solidaritas dan empati sosial yang menjadi fondasi kemanusiaan.
3. Politik Identitas dan Fragmentasi Sosial
– Demokrasi yang mestinya memperkuat kebhinekaan justru sering dimanipulasi untuk membangkitkan politik identitas. Dalam semangat ST4, manusia harus dilihat sebagai sesama ciptaan yang sama harkatnya, bukan sebagai lawan karena perbedaan agama, etnis, atau pandangan politik.
Relevansi bagi demokrasi kini
Untuk menjawab tantangan demokrasi yang kehilangan nilai kemanusiaannya, falsafah ST4 dapat menjadi landasan etis-politik bagi pembaruan demokrasi Indonesia. Relevansinya dapat dijabarkan dalam beberapa hal berikut:
1. Rehumanisasi Demokrasi
– Demokrasi perlu dikembalikan pada orientasi dasarnya: menjamin harkat dan martabat manusia. Proses politik harus menjadi ruang partisipasi yang adil, terbuka, dan memberi ruang bagi warga untuk bertumbuh secara intelektual dan moral.
2. Etika Kepemimpinan Berbasis Kemanusiaan
– Pemimpin sejati adalah mereka yang hidup untuk “menghidupkan” manusia lain. Dalam konteks ini, falsafah ST4 menantang model kepemimpinan otoriter, populis, dan elitis. Ia menuntut hadirnya pemimpin yang mengabdi, bukan yang memerintah dan menguasai.
3. Partisipasi Politik yang Mendidik dan Mencerahkan
– Demokrasi yang berkeadaban menuntut warga negara yang sadar, kritis, dan peduli. Pendidikan politik berbasis falsafah ST4 dapat menjadi upaya membangun partisipasi warga yang tidak sekadar memilih, tetapi juga ikut membentuk masa depan bangsa dengan kesadaran kemanusiaan.
4. Solidaritas Sosial sebagai Dasar Demokrasi
– Falsafah ST4 menolak individualisme dan menegaskan pentingnya kebersamaan (komunal). Demokrasi hanya akan bermakna bila ia menjadi sistem yang menumbuhkan solidaritas sosial, di mana warga saling memperhatikan, bukan saling menyingkirkan.
Penutup
Falsafah ST4 bukan hanya warisan kultural Minahasa, tetapi juga landasan moral universal bagi bangsa yang ingin membangun demokrasi berkeadaban. Dalam situasi di mana demokrasi kita sedang kehilangan roh kemanusiaannya, falsafah ini menjadi pengingat bahwa tujuan akhir politik bukanlah kekuasaan, tetapi pemuliaan manusia.
Menghidupkan kembali semangat falsafah ini berarti mengembalikan arah demokrasi Indonesia kepada jati dirinya, demokrasi yang berakar pada kemanusiaan, berjiwa gotong royong (mapalus), dan berorientasi pada kebaikan bersama.
(Disampaikan dalam diskusi Sam Ratulangi Institut (SRIN) pada tanggal 5 November 2025. Diskusi yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Lahir Sam Ratulangi)
No Comments