PRIORITAS, 23/8/25 (Jakarta): Bayangkan sebuah pulau kecil di Samudra Pasifik yang dulu digambarkan sebagai surga. Pantai berpasir putih, laut sebening kristal, dan terumbu karang yang indah. Pulau itu bernama Nauru.
Jangan remehkan ukurannya yang mungil, sebab di balik keindahannya, negara ini pernah tercatat sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Kisahnya dimulai dari fosfat, bahan pupuk yang sangat dibutuhkan di seluruh dunia.
Cadangannya ditemukan melimpah pada awal 1900-an, dan sejak 1907 perusahaan-perusahaan asing dari Inggris, Australia, hingga Selandia Baru mulai menambangnya habis-habisan. Bertahun-tahun, ekonomi Nauru hanya bergantung pada hasil tambang itu.
Setelah merdeka tahun 1968, Nauru mengambil alih tambang fosfat dan kekayaan pun mengalir deras. Pada 1982, The New York Times menulis bahwa pendapatan per kapitanya bahkan melampaui negara-negara minyak di Timur Tengah. Bayangkan, negara terkecil yang merdeka saat itu justru disebut sebagai salah satu yang terkaya di dunia.
Kekayaan mendadak membuat perilaku konsumtif menjamur. Ada cerita populer tentang seorang kepala polisi yang membeli Lamborghini, tapi tak bisa duduk di kursinya. Ferrari dan mobil mewah lain pun diimpor, padahal pulau itu hanya punya satu jalan aspal dengan batas kecepatan 40 km/jam.
Warga diberi fasilitas lengkap
Meski tidak semua warga menikmati kemewahan, negara tetap memberi fasilitas lengkap. Sekolah gratis, perawatan medis hingga ke Australia ditanggung, bahkan pendidikan tinggi ke luar negeri pun dibayar pemerintah. Hidup di Nauru seakan tak ada beban.
Namun, di balik semua itu ada sisi gelap. Fosfat terus digali tanpa henti hingga akhirnya habis pada 1990-an. Sumber utama ekonomi runtuh. Pengeluaran besar-besaran pemerintah tidak bisa lagi ditutupi, dan Nauru jatuh miskin.
Saat itulah negara ini berubah arah. Mereka menjual lisensi bank dan paspor, hingga dijuluki surga pajak. Pada tahun 2002, Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menandai Nauru sebagai negara pencucian uang. Disebut-sebut, miliaran dolar milik mafia Rusia sempat mengalir melalui bank di pulau kecil ini.
Australia lalu turun tangan. Negara tetangga itu memberi bantuan finansial dengan imbalan Nauru mau menjadi tempat penampungan pencari suaka menuju Australia. Dari negara kaya raya, Nauru berubah menjadi negara bergantung.
Tingkat obesitas tertinggi di dunia
Kini, masalah lain muncul. Nauru menjadi negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Data Federasi Obesitas Dunia mencatat 70 persen warganya masuk kategori obesitas. Makanan bergizi sulit didapat, sementara makanan olahan seperti Spam justru populer. Ditambah, hampir setengah penduduknya merokok. Pada 2020, angka perokok mencapai 48,5 persen menurut MacroTrends.
Hari ini, Nauru hanya dihuni sekitar 12 ribu jiwa dari 12 suku utama. Mobil-mobil mewah yang dulu jadi simbol kejayaan kini berkarat di pinggir jalan, ditinggalkan begitu saja sebagai monumen ironis dari masa lalu.
Cerita Nauru adalah pengingat keras bagi banyak negara. Sumber daya alam bisa membuat kaya, tetapi tanpa pengelolaan yang bijak, kekayaan itu bisa lenyap begitu cepat. Dari pulau yang dulu bersinar terang, kini tinggal pelajaran pahit tentang keserakahan dan salah urus. (P-Khalied M)