Tari Kabasaran tampil di Istana Merdeka Jakarta dalam rangkaian Upacara HUT Kemerdekaan ke-80 RI pada Minggu, 17 Agustus 2025. (Screenshot video BPMI Setpres)PRIORITAS, 17/8/25 (Jakarta): Tari perang asal Minahasa, Sulawesi Utara, “Kabasaran”, menjadi bahan pembicaraan ketika tampil dalam kegiatan kenegaraan Penurunan Bendera Merah Putih dalam rangkaian Upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegiatan tersebut digelar Minggu, 17 Agustus 2025, petang di Istana Merdeka Jakarta.
Dilansir dari Wikipedia, tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata: Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.
Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan/atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘Wasalen” dan para penarinya disebut Kawasaran, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.

Salah satu gerakan tari perang Kabasaran. (Screenshot video BPMI Setpres)
Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi “Kabasaran” yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian”. “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, tetapi akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.
Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney atau prajurit perang.
Bentuk gerakan
Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.
Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun.
Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak-babak tersebut terdiri dari:
1. Cakalele, berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat-lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya.
Ekspresi garang

Penari Kabasaran wajib berekspresi garang. (Screenshot video BPMI Setpres)
Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (dalam dialek Tombulu, salah satu etnis di Minahasa) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik Tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik.
Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, di mana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.
Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN Wilken tahun 1830.
Di situ dituliskan, kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun.
Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.
Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti: Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan.
Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yang diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. (Screenshot video BPMI Setpres)
Peraturan tentang Kabasaran
Pada zaman penjajahan Belanda tempo dulu, ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa:
Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut di atas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak Belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado.
Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran.
Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.
Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.
Kabasaran masa kini

Dalam perkembangannya, tari Kabasaran juga dilakukan kalangan perempuan. (Screenshot video BPMI Setpres)
Seiring tidak ada lagi peperangan antar daerah, tari Kabasaran kini dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga Minahasa ketika menyelenggarakan pesta adat.
Sering kali, tarian ini hadir sebagai hiburan warga ketika provinsi Sulawesi Utara menyelenggarakan festival adat. Kabasaran merupakan identitas tou Minahasa, bukan sekadar dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga, tetapi lebih dalam kepada proses ritual dari jalan hidup seorang waraney. (P-*/ht)
No Comments