PRIORITAS, 18/10/2025 (Manado): Hujan turun tanpa henti sejak pagi, mengubah halaman Taman Budaya Sulawesi Utara di kawasan Rike menjadi kubangan lumpur. Namun di tengah guyuran air itu, suara tabuhan Sasambo tetap menggema. Puluhan penari, pelukis, dan penyair menolak berhenti. Mereka beraksi di tanah becek, berteriak lewat karya seni, bukan amarah.
Aksi yang mereka sebut “Demontraksi: Taman Budaya Rumah Kami, Kembalikan!” digelar Kamis. Ratusan seniman dan budayawan dari seluruh penjuru Sulawesi Utara — dari Sangihe hingga Bolmong Raya, dari Bitung hingga Minahasa — datang membawa satu pesan: tolak alih fungsi Taman Budaya menjadi SPBU.
“Kami tidak menggugat, kami menggugah,” ujar Aldes Sambalao, koordinator aksi sebagaimana dilaporkan kontributor Berita Prioritas, Inyo Rorimpandey, Sabtu (18/10/25)
Aldes Sambalao sambil menatap bangunan tua di belakangnya — Taman Budaya yang dulu megah, kini gelap, panggung utamanya jadi tempat menjemur pakaian, berkata: “Kami ingin pemerintah tahu, budaya bukan hambatan pembangunan, tapi jiwa yang membuat manusia punya arah.”
Aksi ini bukan demonstrasi biasa. Mereka, para peserta ‘demontraksi’ menari di genangan air, membaca puisi di bawah payung yang robek, melukis di atas kardus bekas. Semua menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap mengabaikan nilai-nilai budaya.
Namun kekecewaan muncul karena pejabat Dinas Kebudayaan tak terlihat hadir, meski sudah diundang. Hanya aparat kepolisian yang menjaga jalannya aksi, menyatu dalam suasana damai penuh solidaritas.
Gerakan Seniman dan Budayawan Sulut (GEMAS) yang memotori kegiatan ini menilai bahwa pendekatan pembangunan pemerintah terlalu berorientasi pada ekonomi. “Seni dan budaya dianggap tak produktif, padahal justru menopang peradaban,” kata Eric Dajoh, salah satu penggerak GEMAS.
Menjelang sore, kabar datang dari Kantor Gubernur. Wakil Gubernur Sulut, Dr. J. Victor Mailangkay, SH, MH, bersedia menerima perwakilan seniman. Basah kuyup dan kelelahan, mereka datang dengan membawa puisi, syair Sasambo, dan sembilan tuntutan — salah satunya menolak alih fungsi Taman Budaya.
Pertemuan berlangsung hangat. “Saya akan bawa aspirasi ini ke Pak Gubernur setelah beliau kembali dari Jakarta,” ujar Mailangkay.
Meski belum ada keputusan, tapi seniman menghargai ruang dialog yang terbuka. Usai pertemuan, mereka kembali ke Taman Budaya dan melanjutkan demontraksi: bernyanyi, menari, berpuisi, dan melukis di tengah lumpur.
“Upaya ini belum selesai. Kami tunggu janji pemerintah yang membuka ruang dialog dan menyelesaikan masalah seni dan kebudayaan di Sulut,” kata perwakilan GEMAS — Eric Dajoh, Aldes Sambalao, Pitres Sombowadile, Yasri ‘Nona’ Badoa, Iverdixon Tinungki, Royke Kumaat, Saul Ering, Ferro Kuron, Toni Mandak, Rikson Karundeng, Alfred Pontolondo, dan Jane Anastasia Lumi.
Sore semakin gelap. Para delegasi kembali ke lokasi aksi, bergabung lagi dengan ratusan seniman lain. Mereka bernyanyi, menari, berpuisi — di tengah becek dan dingin — dengan satu keyakinan: budaya tak boleh mati.
“Kami akan terus berjuang dengan cara damai,” kata Pitres Sombowadile, membacakan Maklumat Kebudayaan. “Sebab seni bukan sekadar ekspresi, tapi perlawanan moral terhadap pembangunan yang kehilangan jiwa.”
Dan malam itu, di antara lampu temaram dan tanah berlumpur, suara Sasambo masih terdengar — tanda bahwa perlawanan belum usai, dan Taman Budaya masih punya nyawa. (P-ir/bwl)
No Comments