PRIORITAS, 22/8/24 (Beijing): Saat ini China tengah dipusingkan oleh tingkat pengangguran tinggi.
Kondisi tersebut memaksa jutaan lulusan perguruan tinggi untuk menghadapi situasi sulit, di mana beberapa harus menerima pekerjaan dengan gaji rendah atau bahkan bergantung pada pensiun orang tua mereka. Kondisi ini telah menciptakan kelas pekerja baru yang dikenal sebagai “rotten-tail kids“.
Diketahui, istilah ini menjadi kata kunci di media sosial tahun 2024, yang membandingkan nasib mereka dengan “rotten-tail buildings“-istilah yang digunakan untuk menggambarkan jutaan rumah dimana belum selesai dibangun sejak krisis ekonomi China pada 2021.
Dilaporkan, rekor jumlah lulusan perguruan tinggi tahun ini tengah mencari pekerjaan di pasar tenaga kerja yang lesu akibat gangguan disebabkan oleh Covid-19 serta tindakan keras regulasi di sektor keuangan, teknologi, dan pendidikan di negara itu.
Saat ini, tingkat pengangguran untuk sekitar 100 juta pemuda China berusia 16-24 tahun melampaui 20 persen untuk pertama kalinya pada April tahun lalu. Ketika mencapai rekor tertinggi 21,3 persen pada Juni 2023, pejabat pemerintah tiba-tiba menangguhkan publikasi data tersebut untuk meninjau kembali metode penghitungan.
Lalu setahun kemudian, pengangguran di kalangan pemuda tetap menjadi masalah, dengan tingkat pengangguran yang diperbarui melonjak hingga 17,1 persen pada Juli 2024, saat 11,79 juta mahasiswa lulus musim panas ini di tengah ekonomi dimana masih terbebani oleh krisis real estate.
Jadi prioritas utama
Sementara itu, Presiden Xi Jinping telah berulang kali menekankan, menemukan pekerjaan bagi generasi muda ialah prioritas utama.
Diketahui, pemerintah telah menyerukan lebih banyak saluran bagi pemuda untuk mengakses calon pemberi kerja, seperti pameran pekerjaan, dan telah meluncurkan kebijakan bisnis yang mendukung untuk membantu meningkatkan perekrutan.
Akan tetapi, bagi banyak lulusan perguruan tinggi di China, prospek pekerjaan yang lebih baik, mobilitas sosial meningkat, dan pandangan hidup lebih cerah-semua hal yang dulu dijanjikan oleh gelar sarjana-menjadi semakin sulit dicapai.
Menjadi “anak penuh waktu”
Kini, beberapa pemuda yang menganggur telah kembali ke kampung halaman mereka untuk menjadi “anak penuh waktu,” bergantung pada pensiun dan tabungan orang tua mereka. Bahkan mereka yang memiliki gelar pascasarjana tidak luput dari kesulitan ini.
Semisal Zephyr Cao, yang meraih gelar master dari China Foreign Affairs University di Beijing tahun lalu, kini kembali ke provinsi asalnya di Hebei dan telah berhenti mencari pekerjaan penuh waktu setelah gaji yang lebih rendah seperti diharapkan. Ini embuatnya mempertanyakan nilai pendidikan yang dia peroleh.
“Jika saya bekerja selama tiga atau empat tahun setelah lulus sarjana, gaji yang saya terima mungkin akan sama dengan gaji yang saya terima sekarang setelah lulus magister,” kata Cao, dilansir Reuters, Rabu (21/8/24) kemarin.
Sementara itu, Amada Chen, lulusan Hubei University of Chinese Medicine, berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan milik negara setelah hanya satu bulan bekerja. Dia mengeluhkan budaya kerja toksik dan ekspektasi atasan yang tidak realistis. Selama 15 hari masa percobaan, dia hanya dibayar 60 yuan (sekitar Rp130.000) per hari meski harus bekerja selama 12 jam setiap hari.
“Saya menangis setiap hari selama seminggu,” tuturnya.
Sebenarnya, pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi bukanlah hal baru di China. Pada tahun 1999, China memperluas kapasitas pendaftaran universitas secara dramatis untuk menghasilkan tenaga kerja yang lebih terdidik guna mendorong ekonomi berkembang pesat. Namun, pasokan lulusan terus melebihi permintaan pekerjaan, dan masalah ini belum sepenuhnya terselesaikan.
Prospek bagi lulusan perguruan tinggi tetap tidak pasti, bahkan ketika jurusan mereka sesuai dengan kebutuhan pasar. Misalnya, Shou Chen, yang baru menyelesaikan tahun ketiga di Beijing University of Posts and Telecommunications dengan jurusan kecerdasan buatan, masih belum mendapatkan magang meskipun sudah mengajukan lebih dari selusin aplikasi, dan tetap pesimis tentang pasar kerja.
Penelitian yang diterbitkan oleh China Higher Education Research, sebuah jurnal di bawah kementerian pendidikan, memperkirakan, pasokan mahasiswa perguruan tinggi akan melebihi permintaan dari tahun 2024 hingga 2037, setelah itu efek dari penurunan angka kelahiran akan mengurangi kesenjangan ini secara tajam. Jumlah lulusan perguruan tinggi baru diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar 18 juta pada tahun 2034. (P-CNBCi/jr) — foto ilustrasi istimewa