Tonton Youtube BP

Belajar dari Jepang, Korea, dan Finlandia: Membenahi Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia

Wilson Lumi
27 Sep 2025 08:20
Opini 0 57
4 minutes reading

Oleh: Prof. (HC) Dr. Pius Lustrilanang, S.Ip., M.Si.
Penulis Komisaris Independen PT Antam Tbk., penulis buku, aktivis Reformasi 98.

GELOMBANG kasus keracunan massal di beberapa sekolah penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) menggores ironi dari niat baik pemerintah. Program yang digadang untuk meningkatkan gizi anak justru melahirkan risiko kesehatan dan krisis kepercayaan publik. Pertanyaan publik pun menguat: apakah negara benar-benar siap dengan standar keamanan pangan berskala nasional?

Di tengah gempuran persoalan itu, ada hal yang kerap luput dari perhatian: program makan bergizi bukan semata soal logistik, melainkan juga investasi jangka panjang. Gizi yang baik menentukan kualitas sumber daya manusia, kemampuan belajar, hingga produktivitas generasi mendatang. Karena itu, kegagalan program ini bukan hanya soal teknis, melainkan juga risiko terhadap masa depan bangsa.

Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia sudah lebih dulu membuktikan bahwa keberhasilan program makan bergizi di sekolah bergantung pada kombinasi standar higienis, pengawasan ketat, serta keterlibatan masyarakat. Dari mereka, Indonesia bisa belajar untuk menjadikan MBG bukan sekadar proyek politik, melainkan fondasi pembangunan manusia.

Jepang: Kyūshoku sebagai Pendidikan Gizi
Sejak awal abad ke-20, Jepang mengenal sistem kyūshoku atau makan siang sekolah. Setiap sekolah memiliki dapur higienis dengan standar tinggi, tenaga nutrisionis, dan menu yang disusun berdasarkan kebutuhan gizi anak. Lebih dari sekadar pemberian makan, kyūshoku adalah sarana pendidikan gizi. Anak-anak belajar tentang asal-usul bahan pangan, pentingnya keseimbangan gizi, hingga budaya makan sehat (Otsuka, 2014, Journal of School Health).

Yang menarik, distribusi makanan dilakukan dengan disiplin waktu. Siswa dilibatkan dalam membagikan makanan sehingga tercipta rasa tanggung jawab. Jepang menekankan kesegaran: menu sederhana seperti nasi, ikan panggang, sup miso, dan sayuran segar lebih diutamakan dibanding makanan kompleks yang berisiko cepat basi.

Korea Selatan: Digitalisasi Rantai Pasok

Korea Selatan mengambil jalur berbeda dengan memanfaatkan teknologi. Sistem pemantauan rantai pasok pangan sekolah dilakukan secara digital dan real-time, mulai dari gudang penyimpanan hingga distribusi. Sensor suhu, barcode, dan pelaporan daring memungkinkan pemerintah mengidentifikasi masalah dengan cepat (Kim & Lee, 2019, Public Health Nutrition).

Program makan sekolah di Korea juga diawasi oleh dietitian bersertifikat yang wajib mencatat setiap detail bahan dan proses masak. Transparansi menjadi kunci: orang tua dapat mengakses menu harian, kandungan gizi, bahkan catatan keamanan pangan melalui aplikasi daring. Hasilnya, tingkat insiden keracunan makanan di sekolah turun drastis dalam dua dekade terakhir.

Finlandia: Kesederhanaan dan Kesegaran
Finlandia menempuh pendekatan yang membumi: kesederhanaan. Sejak 1948, negara ini menyediakan makan siang gratis bagi semua siswa, menjadikannya salah satu program makan sekolah tertua dan paling universal di dunia (Tikkanen, 2020, Nordic Journal of Educational History).

Menu harian di Finlandia hampir selalu terdiri dari sup sayuran, kentang rebus, ikan atau daging sederhana, roti gandum, buah segar, dan susu. Prinsip utamanya adalah penggunaan bahan lokal, segar, dan minim olahan. Kesederhanaan inilah yang membuat distribusi lebih mudah, biaya lebih terkendali, dan risiko kesehatan rendah.

Relevansi untuk Indonesia
Belajar dari tiga negara ini, ada beberapa pelajaran penting bagi Indonesia dalam membenahi MBG:

1. Standarisasi dan edukasi (Jepang)
MBG harus dilihat bukan hanya sebagai logistik pangan, tetapi juga pendidikan gizi. Anak bisa dilibatkan dalam proses, dan menu harus sederhana serta aman.

2. Digitalisasi dan transparansi (Korea Selatan)
Pemanfaatan aplikasi sederhana untuk mencatat suhu, bahan, hingga laporan orang tua bisa menutup celah pengawasan.

3. Kesederhanaan menu (Finlandia)
MBG tidak perlu berlebihan. Menu sederhana berbasis pangan lokal segar lebih aman, lebih mudah diawasi, dan lebih mendidik.

Selain itu, ada dua aspek yang sangat penting bagi Indonesia. Pertama, anggaran: program sebesar ini membutuhkan efisiensi agar dana tidak habis di ongkos distribusi atau menu yang berlebihan. Kedua, akuntabilitas publik: masyarakat harus dapat mengawasi, melaporkan, dan menilai pelaksanaan program secara transparan. Tanpa dua aspek ini, MBG hanya akan menjadi proyek musiman tanpa daya tahan.

Program MBG lahir dari niat baik, tetapi niat saja tidak cukup. Keberhasilan program di Jepang, Korea, dan Finlandia menunjukkan bahwa makan bergizi di sekolah hanya akan efektif jika dipadukan dengan standar higienitas, teknologi pengawasan, dan kesederhanaan menu.

Indonesia tidak harus menyalin mentah-mentah, tetapi bisa memetik prinsip kunci: kesegaran, transparansi, dan pendidikan gizi. Pada akhirnya, ukuran sukses bukanlah berapa juta porsi yang dibagikan, melainkan sejauh mana orang tua yakin anak-anaknya bisa makan dengan aman, sehat, dan bermartabat di sekolah. Dari situlah MBG dapat bertransformasi dari potensi krisis menjadi pilar pembangunan manusia Indonesia.***

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x