Tonton Youtube BP

“Si Tou Timou Tumou Tou” dan Demokrasi yang Berlandaskan Kasih

Wilson Lumi
8 Nov 2025 10:49
Opini 0
3 minutes reading

Oleh: Tommy Waworundeng,
Ketua Departemen Penerbitan Surat Kabar & Verifikasi PWI Sulawesi Utara

Falsafah Minahasa “Si Tou Timou Tumou Tou” yang dirumuskan oleh Dr. Sam Ratulangi, adalah mutiara kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman. Kalimat sederhana ini — yang berarti “manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain” — sesungguhnya merupakan fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bahkan, dalam konteks demokrasi kekinian, falsafah ini menemukan maknanya yang paling dalam: bahwa demokrasi sejati haruslah berlandaskan pada hukum kasih.

Hidup untuk Memanusiakan

Nilai Si Tou Timou Tumou Tou menegaskan bahwa manusia tidak dapat hidup hanya untuk dirinya sendiri. Ia dipanggil untuk membuat manusia lain hidup dan berkembang.

Dalam pandangan ini, setiap tindakan politik, sosial, dan budaya seharusnya diarahkan untuk menumbuhkan martabat sesama manusia. Politik yang memanusiakan adalah politik yang tidak memperalat rakyat, tetapi membangun mereka agar berdaya.

Demokrasi Berbasis Kasih

Demokrasi modern sering terjebak pada formalitas: pemilu, partai, dan kekuasaan. Namun tanpa kasih, demokrasi kehilangan rohnya.

Falsafah Minahasa ini mengingatkan kita bahwa kebebasan, hak, dan suara rakyat harus dijalankan dengan semangat kasih — yaitu menghargai sesama, mendengar yang lemah, dan memperjuangkan kebaikan bersama.

Dalam ajaran iman Kristen, hukum kasih berbunyi:
> “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Hukum kasih ini sejiwa dengan Si Tou Timou Tumou Tou — kasih yang aktif, yang bekerja, yang memanusiakan. Demokrasi yang berlandaskan kasih bukan hanya menghitung suara, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa setiap suara manusia adalah berharga dan bermartabat.

Kepemimpinan yang Melayani

Dalam konteks kepemimpinan, falsafah ini menolak gaya berkuasa yang otoriter atau manipulatif. Seorang pemimpin yang berpegang pada Si Tou Timou Tumou Tou akan menjalankan kekuasaan sebagai panggilan untuk melayani, bukan untuk memerintah.

Ia berupaya menumbuhkan rakyatnya — membuka kesempatan, memperjuangkan keadilan, dan mengangkat yang tertinggal. Kepemimpinan semacam ini adalah wujud konkret hukum kasih dalam dunia politik.

Kasih di Tengah Perbedaan

Minahasa — seperti juga Indonesia — hidup dalam keberagaman. Demokrasi hanya akan bertahan bila rakyatnya memiliki semangat kasih: saling menghargai di tengah perbedaan, dan tidak mudah diadu domba oleh kepentingan sempit.

Si Tou Timou Tumou Tou menjadi falsafah yang menolak kebencian dan mengajak pada persaudaraan. Karena dalam kasih, tidak ada ruang bagi kebencian, hanya ruang bagi kemanusiaan.

Penutup
Di tengah tantangan demokrasi modern — dari polarisasi politik hingga budaya digital yang kasar — falsafah Si Tou Timou Tumou Tou menjadi cahaya yang menuntun.

Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak cukup hanya dijalankan, tetapi juga harus dihidupi dengan kasih. Sebab, ketika manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain, saat itulah demokrasi menemukan jiwanya yang sejati.***

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x