Ilustrasi berkas untuk proses pengurusan visa. (‘Courtessy’ Freepik)Oleh Hanni Sofia, Wartawan LKBN ANTARA
PRIORITAS, 6/11/25 (Jakarta): Bagi WNI yang gemar melakukan ‘travelling’ ke negara-negara Eropa, ada kabar gembira sebagaimana diterima Beritaprioritas, Kamis (6/11/25) ini. Yakni, Uni Eropa resmi memberlakukan kebijakan baru visa Schengen (bisa mengakses 27 negara anggota Schengen) dengan sistem cascade yang memungkinkan masa berlaku hingga lima tahun. Ini tentu menjadi babak tersendiri bagi hubungan Indonesia dan negara-negara di kawasan Eropa.
Disebutkan, kebijakan ini bukan sekadar kemudahan administratif, namun sejatinya merupakan simbol kepercayaan Uni Eropa terhadap Indonesia, termasuk juga sebuah pengakuan atas reputasi dan kredibilitas bangsa dalam menjaga integritas perjalanan warganya di dunia internasional.
Babak baru dalam hubungan diplomatik
Adapun penerapan visa jangka panjang ini menandai babak baru dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Eropa.
Sebab, di tengah dinamika global yang menuntut keterbukaan, kebijakan ini menunjukkan, Indonesia kini dipandang sebagai mitra yang setara dan dapat dipercaya, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun kebudayaan.
Selanjutnya, bagi masyarakat Indonesia, kebijakan ini bukan hanya kabar baik bagi wisatawan, tetapi juga peluang bagi profesional, peneliti, dan pelajar untuk memperluas jaringan dan memperkuat kolaborasi lintas negara.
Visa multiple entry
Sebagaimana dilansir Antara, berdasarkan aturan terbaru, warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekam jejak perjalanan ke kawasan Schengen dalam tiga tahun terakhir, kini bisa mendapatkan visa multiple entry dengan masa berlaku hingga lima tahun dan izin tinggal maksimal 90 hari setiap 180 hari.
Disebutkan, skema ini diberikan kepada pemegang paspor dengan masa berlaku lebih dari lima tahun. Sementara bagi pemegang paspor dengan masa berlaku lebih pendek, durasi visa akan disesuaikan hingga enam bulan sebelum paspor berakhir.
Dikatakan, aturan ini memperlihatkan dua hal sekaligus, yakni kepercayaan diberikan berdasarkan rekam jejak, dan setiap kemudahan tetap diiringi prinsip kehati-hatian serta tanggung jawab bersama.
Hasil nyata diplomasi Presiden Prabowo
Adapun kebijakan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Namun merupakan hasil nyata dari diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah Indonesia, terutama melalui kunjungan Presiden Prabowo ke Brussels pada pertengahan Juli 2025.
Diketahui, dalam pertemuannya dengan Presiden Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen, Presiden Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkuat kerja sama internasional melalui kemudahan mobilitas warganya.
Kemudian Ursula merespons dengan pernyataan, visa lima tahun merupakan bentuk meningkatnya kepercayaan Uni Eropa terhadap Indonesia, sebuah sinyal politik dan diplomatik yang sarat makna.
Tegasnya, dalam bahasa yang sederhana, Uni Eropa menilai Indonesia kini bukan hanya mitra regional, tetapi juga mitra strategis global.
Selanjutnya, makna kepercayaan ini menjadi semakin penting ketika dilihat dari konteks global. Di saat banyak negara memperketat kebijakan visa, Uni Eropa justru melonggarkan akses bagi warga Indonesia.
WNI berperilaku berranggungjawab
Indonesia dengan begitu dinilai telah menunjukkan stabilitas sosial, ekonomi, dan keamanan yang tinggi, serta perilaku perjalanan warga yang bertanggung jawab.
Hal ini juga menjadi bukti, diplomasi Indonesia tidak berhenti pada meja perundingan, tetapi berdampak nyata pada kemudahan hidup warganya.
Kebijakan ini, bagi masyarakat membawa manfaat luas. Para profesional kini bisa lebih mudah menjalin kemitraan bisnis dan menghadiri forum internasional tanpa harus mengajukan visa berulang kali.
Lalu, pelajar dan peneliti dapat lebih fleksibel mengikuti program akademik, riset bersama, atau pertukaran pelajar jangka panjang. Para pebisnis dan investor dapat memperluas jejaring dan menjajaki peluang di pasar Eropa dengan waktu dan biaya yang lebih efisien.
Kemudian bagi wisatawan, kebijakan ini merupakan pengakuan, Indonesia memiliki catatan perjalanan yang baik dan dipercaya untuk mengakses 27 negara anggota Schengen.
Tetapi, kepercayaan semacam ini juga mengandung tanggung jawab. Dengan kemudahan akses yang diberikan, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memastikan, setiap warga yang memanfaatkan fasilitas ini memahami prosedur dan etika perjalanan internasional.
Keberadaan mitra pendamping
Diketahui, tidak semua masyarakat familiar dengan perubahan aturan, dokumen pendukung, atau detil teknis aplikasi visa jangka panjang. Banyak pemohon yang masih ragu atau keliru dalam memahami kebijakan baru ini, padahal kesalahan kecil bisa berdampak besar.
Karenanya, dalam konteks itulah, keberadaan mitra pendamping seperti Heyvisa menjadi relevan dan strategis. Layanan ini membantu masyarakat Indonesia menavigasi kebijakan baru dengan tepat dan efisien.
Diketahui, layanan serupa itu juga tidak sekadar mengurus administrasi, tetapi memberikan pendampingan edukatif termasuk menjelaskan tahapan proses, menyiapkan dokumen dengan akurat, dan memberi panduan sesuai peraturan di tiap negara anggota.
Adapun dengan pendekatan personal dan profesional, mereka bisa membantu masyarakat Indonesia memanfaatkan kepercayaan Uni Eropa secara bijak dan bertanggung jawab.
Jadi, pendampingan seperti ini bukan sekadar layanan komersial, melainkan bagian dari literasi perjalanan global yang kini semakin dibutuhkan.
Diiketahui, di era digital, ketika sistem aplikasi visa semakin kompleks namun menuntut ketelitian tinggi, dukungan profesional menjadi solusi agar warga Indonesia dapat menjaga citra baik di mata dunia.
Sebab, kesalahan teknis atau pelanggaran kecil bisa merusak reputasi kolektif, sementara ketaatan dan profesionalisme justru memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa yang dipercaya di kancah internasional.
Momentum diplomasi
Asapun kebijakan visa Schengen lima tahun ini pada akhirnya dapat dibaca sebagai momentum diplomasi yang strategis.
Selain juga menunjukkan, hubungan Indonesia dan Uni Eropa tidak lagi sekadar hubungan antara negara berkembang dan negara maju, tetapi telah bertransformasi menjadi kemitraan berbasis saling percaya.
Nah, kepercayaan ini harus dijaga, diperluas, dan diterjemahkan dalam berbagai bidang: ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan teknologi.
Terkait itu, Pemerintah Indonesia perlu menindaklanjuti momentum ini dengan memperkuat sinergi lintas lembaga termasuk Kementerian Luar Negeri, Ditjen Imigrasi, perguruan tinggi, hingga sektor swasta untuk mengedukasi masyarakat tentang peluang dan tanggung jawab dari kebijakan baru ini.
Lalu, pada saat yang sama, warga negara juga perlu menyadari, setiap kemudahan akses merupaka amanah yang menuntut disiplin, integritas, dan kesadaran global.
Bahkan, lebih dari sekadar kemudahan bepergian, kebijakan ini merupakan cermin dari posisi Indonesia di mata dunia sebagai bangsa yang stabil, modern, dan dipercaya.
Jadi, langkah ini mempertegas, diplomasi yang cerdas bukan hanya tentang negosiasi di ruang tertutup, tetapi tentang bagaimana kepercayaan diterjemahkan menjadi kemudahan yang dirasakan langsung oleh rakyatnya.
Dalam hal ini, Uni Eropa telah menunjukkan kepercayaannya. Kini, giliran Indonesia membuktikan, kepercayaan itu pantas dijaga dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan semangat kolaborasi lintas bangsa. (P-*r/jr)
No Comments