PRIORITAS, 7/10/25 (Tokyo): Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memuji Sanae Takaichi sebagai wanita konservatif bijaksana dan kuat, untuk menjadi Perdana Menteri wanita pertama Jepang.
“Jepang baru saja memilih Perdana Menteri perempuan pertamanya, sosok yang sangat dihormati, penuh kebijaksanaan dan kekuatan,” ujar Trump di jejaring sosial Truth Social miliknya.
“Ini berita luar biasa bagi masyarakat Jepang yang luar biasa. Selamat untuk semuanya!”, kata Presiden AS, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari The Japan Times, hari Selasa (7/10/25).
Takaichi disebut menjadi era baru dan penentang tradisi politik Jepang, setelah ia terpilih menjadi ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa di Jepang.
Ini otomatis menempatkannya di jalur untuk menjadi Perdana Menteri wanita pertama negara itu.
Sanae Takaichi berusia 64 tahun, yang idolanya adalah Margaret Thatcher dari Inggris. Thatcher adalah PM Inggris wanita pertama dan terlama di abad-20. Thatcher juga dikenal ‘wanita besi’ karena gaya politik dan kepemimpinannya.
Kerja seperti kuda
Dalam pidato kemenangannya, Takaichi menegaskan tekadnya untuk bekerja keras memulihkan kekuatan LDP.
Sanae Takaichi mengatakan “segunung pekerjaan” terbentang di depan untuk memulihkan nasib Partai Demokrat Liberal yang sedang terpuruk.
“Semua anggota parlemen harus bekerja seperti kuda. Saya akan menyingkirkan konsep keseimbangan kerja dan kehidupan. Bekerja, bekerja, bekerja — demi membangun kembali Jepang,” ujarnya.
LDP telah memerintah Jepang hampir tanpa gangguan selama beberapa dekade, tetapi dukungannya mulai berkurang karena dukungan terhadap partai-partai kecil tumbuh, termasuk Sanseito yang anti-imigrasi.
Kemenangan Takaichi memunculkan kekhawatiran di kalangan mitra koalisi, Komeito, yang lebih menyukai sosok berhaluan moderat.
Ia juga menghadapi sorotan tajam karena kedekatannya dengan kelompok ultranasionalis Nippon Kaigi, yang mendorong amandemen Konstitusi Jepang agar lebih proaktif secara militer.
Takaichi, seorang drummer heavy metal saat masih mahasiswa, hampir pasti akan disetujui parlemen akhir bulan Oktober ini sebagai Perdana Menteri Jepang kelima dalam beberapa tahun.
9 kali menang di parlemen
Takaichi, politikus lahir di Yamatokoriyama, Prefektur Nara, pada 7 Maret 1961.
Lulusan Universitas Kobe ini memulai karier sebagai penulis, asisten legislatif, dan penyiar sebelum terjun ke dunia politik.
Ia pertama kali terpilih menjadi anggota Majelis Rendah Jepang pada 1993, dan sejak itu telah sembilan kali memenangkan kursi parlemen.
Dalam pemilihan ketua LDP kali ini, Takaichi secara mengejutkan mengalahkan Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi di putaran kedua dengan selisih 29 suara.
Pemilihan ini digelar lebih cepat dari jadwal semula setelah Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengundurkan diri pada 7 September 2025, menyusul kekalahan koalisi LDP dalam pemilihan Majelis Tinggi.
Takaichi akan menjabat sebagai PM ke-104 Jepang untuk dua tahun ke depan, melanjutkan masa jabatan Ishiba hingga September 2027.
Meski demikian, LDP kini menghadapi tantangan berat karena tidak lagi menguasai mayoritas di parlemen.
Jika dilantik, Takaichi akan menjadi perempuan pertama yang memimpin pemerintahan Jepang, menandai langkah besar bagi politik nasional yang selama ini didominasi laki-laki.
Tegas terhadap China
Takaichi dikenal sebagai tokoh konservatif garis keras dan loyalis mendiang mantan PM Shinzo Abe. Ia pernah menjabat Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi (2019–2020) di bawah pemerintahan Abe.
Pandangan politiknya sejalan dengan kebijakan keamanan dan diplomasi tegas Abe, terutama terhadap China.
Pakar Jepang, Tobias Harris, mengatakan Takaichi berambisi memperkuat sistem pertahanan Jepang untuk menghadapi ancaman militer, ekonomi, hingga isu demografis dan pariwisata berlebih.
Takaichi juga kerap memicu kontroversi atas kunjungannya ke Kuil Yasukuni, tempat penghormatan bagi korban perang termasuk 14 penjahat perang kelas A dari Perang Dunia II.
Kunjungan itu, lapor Beritasatu.com, kerap memicu ketegangan diplomatik dengan China dan Korea Selatan.
Selain itu, pandangannya yang tegas terhadap Taiwan dan rencana meninjau ulang kesepakatan dagang senilai US$550 miliar dengan AS menandai arah kebijakan luar negeri yang lebih independen dan berani.
Dengan kepemimpinan Takaichi, Jepang menghadapi babak baru antara modernisasi politik dengan warisan konservatif yang kuat.
Publik kini menanti bagaimana PM perempuan pertama Jepang ini menyeimbangkan ambisinya dengan tantangan diplomatik dan politik dalam negeri yang kompleks. (P-Jeffry W)
No Comments