Ilustrasi seorang perempuan sedang menangis. Perempuan lebih banyak menangis daripada laki-laki. (Courtesy: Reuters)PRIORITAS, 25/10/25 (Jakarta): Menangislah! Karena membiarkan diri menangis merupakan hal yang baik dari segi psikologis untuk kesehatan mental dan membuat tubuh rileks. Menangis bisa disebabkan luapan emosi yang sudah tidak tertahankan, ditinggal pergi orang terkasih, menghadapi konflik, atau lantaran terbawa perasaan saat menonton film yang menyentuh hati.
Seorang psikoterapis bernama Serene Lee yang juga adalah pendiri pusat konseling ICCT.sg mengatakan, menangis itu seperti membersihkan lemari emosi. “Kalau dipendam terus, isinya akan menumpuk dan terasa berat. Membiarkan diri menangis sesekali membantumu merasa seimbang dan manusiawi,” ungkapnya, sebagaimana dilansir dari Antara yang mengutip Channel News Asia Jumat (25/10/25).
Ia menambahkan, setelah seminggu yang penuh tekanan, seseorang mungkin menangis sambil menonton film yang menyentuh hati dan setelahnya merasa ‘segar’, siap menghadapi hari baru.
Secara fisik, kata Lee, menangis memungkinkan Anda melepaskan hormon stres seperti kortisol dan prolaktin melalui air mata. Ia mencontohkan, seperti panci presto, menangis dapat berfungsi sebagai katup tekanan untuk melepaskan perasaan tertekan seperti kesedihan, frustrasi, atau bahkan kebahagiaan.
Dijelaskannya, menangis juga berfungsi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur, kelegaan, atau ikatan batin yang mendalam.
Perempuan lebih banyak menangis
Ia mengungakpkan, seiring bertambahnya usia, perempuan menangis lebih banyak daripada laki-laki 30 hingga 64 kali per tahun. Sementara laki-laki menangis lima hingga 17 kali per tahun.
Hal itu, katanya, bukan disebabkan perbedaan biologis seperti hormon prolaktin pemicu tangisan emosional yang lebih tinggi pada perempuan.
Terkait hal itu, dari sumber yang sama, Dr. Alla Demutska, Direktur Klinis Psikoterapi dan Konseling di Sekolah Psikologi Positif, mengatakan, perbedaan frekuensi menangis (antara perempuan dan laki-lak) justru mencerminkan norma ekspresifitas.
Mengutip sebuah studi yang mengamati lebih dari 7.000 individu dari 37 negara, ia menerangkan, perempuan, terutama di lingkungan profesional, mungkin khawatir dianggap ‘terlalu emosional’ atau ‘tidak profesional’, sehingga mereka menginternalisasi keyakinan bahwa menangis harus disembunyikan.
Sementara banyak pria, tambahnya, juga diajari bahwa menangis sama dengan kelemahan. Mereka menekan emosi untuk mempertahankan rasa kendali atau maskulinitas. “Menangis sebenarnya adalah respons alami manusia, dan itu bukan tanda kelemahan,” katanya.
Lebih lanjut Dr. Demutska mengatakan, selain menangis, ia merasa bahwa harus ada cara lain untuk mengelola stres. Jika tidak, itu menunjukkan kemampuan mengatasi stres yang terbatas.
Sebaliknya, menangis menjadi tidak sehat jika frekuensi atau intensitasnya mengganggu aktivitas sehari-hari, memengaruhi hubungan, dan/atau disertai pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
“Merasa ingin menangis terus-menerus merupakan tanda lain bahwa seseorang membutuhkan bantuan profesional. Menangis tanpa ada penyelesaian dapat mengindikasikan depresi, gangguan duka berkepanjangan, atau respons trauma,” ungkap Dr. Demutska.
“Menangis tanpa mengetahui alasannya, berulang kali, dapat mengindikasikan kesulitan memahami emosi atau proses disosiatif,” sambungnya.
Dr. Demutska mengingatkan, seseorang yang tidak pernah menangis sama sekali, bahkan saat menghadapi berita atau situasi yang menyedihkan, juga mengkhawatirkan karena dapat mengindikasikan mati rasa atau penghindaran emosional. (P-rwt)
No Comments