Tonton Youtube BP

Masih berstatus DPO, KPK minta praperadilan Tanos ditolak hakim

Armin Mandika
24 Nov 2025 18:39
Hukrim 0
3 minutes reading

PRIORITAS, 24/11/25 (Jakarta): Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Halida Rahardhini diminta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak menerima permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos alias Tjhin Thian Po.

Menurut Biro Hukum KPK, Paulus Tannos masih masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018, seorang yang buron dilarang mengajukan praperadilan.

Jika kemudian permohonan praperadilan tetap diajukan melalui keluarga atau kuasa hukum, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima.

“Bahwa pemohon ini masih dalam status daftar pencarian orang (DPO) dan juga red notice. Jadi, sampai saat ini statusnya masih DPO dan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 ada larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang dalam status pencarian orang,” urai Biro Hukum KPK dalam sidang perdana praperadilan di Ruang Sidang 5 PN Jakarta Selatan, Senin (24/11/25) seperti dilansir dari CNN Indonesia.

Hanya saja hakim tidak ingin buru-buru mengakomodasi keinginan Biro Hukum KPK. Hakim meminta agar penjelasan Biro Hukum KPK tersebut dimasukkan ke dalam jawaban saja dan para pihak menjalankan persidangan sesuai dengan hukum acara.

Tidak sah

Seperti diketahui dalam permohonannya, kuasa hukum Tannos meminta hakim untuk menyatakan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin.Kap/08/DIK.01.02/01/11/2024 tertanggal 26 November 2024 adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Pihak kuasa hukum Tannos, Damian Agata Yuvens, menyatakan objek praperadilan yakni Sprin.Kap/08/DIK.01.02/01/11/2024 tertanggal 26 November 2024 tidak ditandatangani oleh penyidik. Menurut Damian Sprinkap tersebut hanya ditandatangani oleh Nurul Ghufron yang ketika itu merupakan Wakil Ketua KPK.

“Objek praperadilan yaitu surat perintah penangkapan tidak sah karena tidak ditandatangani oleh penyidik. Di dalam objek Praperadilan yang menandatangani adalah Wakil Ketua Termohon (KPK) atas nama Nurul Ghufron, bukan penyidik. Kenapa? Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, sebetulnya kedudukan pimpinan KPK termasuk wakil ketua tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, karenanya harus disampaikan yang menandatangani bukan penyidik,” urai Damian.

Bahkan Damian menerangkan hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 16 ayat 2 juncto Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Damian menambahkan objek Praperadilan juga tidak mencantumkan identitas kliennya secara lengkap dan benar sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP. Kata dia, kebangsaan Tannos tidak disebutkan secara lengkap dan benar. Bagian identitas objek Praperadilan hanya menulis kebangsaan Tannos sebagai warga Indonesia, sementara sejak tahun 2019 Tannos juga telah menjadi warga negara lain.

“Kebangsaan yang ditulis di bagian identitas objek praperadilan ini adalah tidak lengkap dan keliru karena pemohon telah menjadi warga negara Guinea-Bissau sejak tahun 2019-yang mana hal ini telah diberitahukan oleh pemerintah Guinea-Bissau kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 5 September 2019,” tegasnya.

Adapun kasus Paulus Tannos merupakan proses ekstradisi pertama yang dilakukan oleh Indonesia dan Singapura. Kedua negara telah melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi pada tahun 2022, yang dilanjutkan dengan ratifikasi pada tahun 2023. (P-*r/am)

 

 

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x