26.3 C
Jakarta
Saturday, September 7, 2024

    Ketum PBNU tidak sependapat klaim salam semua agama merupakan ibadah

    Terkait

    PRIORITAS, 13/6/24 (Jakarta): Kontroversi tentang salam semua agama masih saja berseliweran.

    Dan kali ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengomentarinya, dengan menegaskan klaim yang menyatakan semua ucapan salam di agama apapun merupakan ibadah merupakan hal tidak tepat.

    “Karena ada klaim bahwa ‘assalamualaikum’ adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen)?” katanya dalam keterangan di Jakarta, Rabu (12/6/24) kemarin.
    Gus Yahya, sapaan akrabnya, menilai salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.

     

    Tanda kerukunan antarumat beragama.
    Ia menekankan, penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama.
    “Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?,” ujarnya.

    Gus Yahya mengklarifikasi mengenai salam “Namo Buddhaya” yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme.

    Disebutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain.

    Ia menekankan, meditasi ialah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.

    “Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?” ujarnya.

    Pentingnya perubahan pola pikir para ulama

    Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan pola pikir di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama.

    Ia menilai, sebagian besar ahli fikih masih terpengaruh oleh pola pikir era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    “Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat,” ungkapnya.

    Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam gagasan yang tidak jelas asal-usulnya, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari fatwa agama.

    “Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu,” tutur Gus Yahya. (P-ANT/jr) — foto ilustrasi istimewa

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    Terkini