PRIORITAS, 7/6/25 (Teheran): Iran menuding Amerika Serikat (AS) menjalankan kebijakan diskriminatif setelah Presiden Donald Trump menandatangani larangan masuk bagi warga dari 12 negara mayoritas Muslim dan Afrika.
“Ini cerminan mentalitas rasis dan supremasi yang masih mengakar di kalangan pembuat kebijakan Amerika,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Urusan Warga Iran di Luar Negeri, Alireza Hashemi-Raja, dalam pernyataan resmi, dikutip dari AFP, Sabtu (7/6/25).
Trump mengesahkan kebijakan itu pada Rabu (4/6/25), tiga hari setelah insiden bom molotov di unjuk rasa pro-Israel di Colorado, yang melukai lebih dari selusin orang.
Trump hidupkan larangan lama
Gedung Putih mengklaim kebijakan ini bagian dari perlindungan keamanan nasional. Pemerintah AS akan mulai memberlakukan larangan itu pada 9 Juni.
Larangan ini mencakup warga dari Iran, Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Selain itu, tujuh negara lain terkena pembatasan sebagian.
Hashemi-Raja menilai kebijakan tersebut melanggar prinsip dasar hukum internasional karena membatasi hak perjalanan berdasarkan kebangsaan dan agama.
“Kebijakan ini menunjukkan permusuhan mendalam terhadap rakyat Iran dan Muslim,” tulis Kementerian Luar Negeri Iran dalam siaran resminya.
Hubungan dua negara tetap beku
Iran dan AS tidak memiliki hubungan diplomatik sejak Revolusi Islam 1979. Ketegangan politik terus berlangsung hingga kini.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran, pada 2020 tercatat sekitar 1,5 juta warga Iran tinggal di AS, menjadikannya komunitas diaspora Iran terbesar di luar negeri.
Perintah eksekutif ini muncul usai serangan di Colorado pada Minggu (1/6/25). Pihak berwenang menyebut pelaku adalah warga Mesir yang telah melebihi masa izin tinggal kunjungannya. (P-Khalied Malvino)