31.6 C
Jakarta
Saturday, December 7, 2024

    Investor Daily: Pangkas ‘backlog’ dan dorong pemulihan ekonomi, NPL KPR terjaga di bawah tiga persen

    Terkait

    Jakarta, 28/5/20 (SOLUSSInews.com): Rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) pada lini KPR secara umum masih bisa dijaga di bawah tiga persen. Tingginya kesadaran konsumen untuk mencicil KPR antara lain terjadi karena rumah yang dicicil lewat KPR umumnya merupakan rumah pertama untuk ditempati, sehingga mereka tidak mau mengambil risiko tempat tinggalnya disegel garagara menunggak KPR.

    “Rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah tinggal masih di bawah tiga persen. Yang naik itu KPR ruko (rumah toko) dan rukan (rumah kantor), ada di kisaran lima persen,” papar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat dalam diskusi virtual Zooming with Primus bertajuk Relaksasi KPR dan Antisipasi Risiko NPL di Beritasatu TV yang dipandu Direktur Pemberitaan Berita Satu Media Holdings (BSMH), Primus Dorimulu secara live di Jakarta, pekan lalu.

    Perkembangan NPL KPR

    Selain Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat, diskusi itu menghadirkan Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Arief Sabaruddin, Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan PT Sarana Multigriya Finansial/SMF (Persero), Heliantopo, serta Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), Ryan Kiryanto.

    Dia menuturkan, sejalan dengan pemberian relaksasi kredit oleh OJK dan pemerintah, kualitas kredit pada lini KPR perbankan dan sektor jasa keuangan lainnya diharapkan masih terjaga. Untuk perbankan, menurut Teguh Supangkat, OJK telah memberikan empat instruksi antisipasi, termasuk lewat Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/ POJK 03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19.

    Antisipasi pertama, kata Teguh, mencakup identifikasi dengan melakukan analisis skenario dampak Covid-19.

    Kedua, memitigasi risiko kredit dan kecukupan likuiditas, termasuk mengaktifkan sistem peringatan (warning system).

    Ketiga, mengukur dengan melakukan pengujian daya tahan bank (stress test).

    Keempat, optimalisasi pengelolaan portofolio. Dari sisi debitur, menurut Teguh, perbankan dan jasa keuangan lainnya diinstruksikan untuk mulai selektif supaya relaksasi yang diberikan OJK tepat sasaran.

    Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan pun bisa memberikan manfaat kepada debitur dan kreditur.

    Perkembangan KPR

    Teguh Supangkat mengatakan, pertumbuhan KPR di Tanah Air dari tahun ke tahun cenderung stabil pada kisaran 6-7 persen.

    Berdasarkan data OJK, hingga Februari 2020 total penyaluran KPR mencapai Rp526,4 triliun (outstanding). Lebih dari 60 persen-nya merupakan jenis KPR rumah tapak (rumah tinggal).

    Data OJK menunjukkan, KPR untuk lini rumah tinggal mencapai Rp480,07 triliun. Lini ini didominasi segmen KPR tipe 22-70 m2 yang mencapai Rp305,57 triliun, disusul segmen KPR tipe lebih dari 70 m2 senilai Rp150,84 triliun, serta KPR tipe 21 m2 sebesar Rp23,86 triliun.

    Selanjutnya, total kredit pemilikan rumah susun (KPRS) yang pada periode sama mencapai Rp22,53 triliun, didominasi KPRS tipe 22-70 m2 senilai Rp12,72 triliun.

    Adapun lini ruko atau rukan tercatat 23,89 triliun. “Sampai Februari 2020, pertumbuhannya masih bagus, di atas enam persen. Tapi akibat Covid-19, demand-nya sedikit menurun. Kami harapkan Covid-19 segera berakhir,” ujar Teguh.

    Kualitas kredit

    Sementara itu, Ryan Kiryanto, Ekonom BNI Kepala Ekonom BNI, Ryan Kiryanto mengemukakan, BNI memanfaatkan relaksasi OJK untuk menjaga kualitas kreditnya.

    Karena itu, BNI menjalankan sejumlah instruksi OJK guna mengantisipasi kenaikan NPL dan berbagai risiko turunannya.

    Dia menjelaskan, sebagai salah satu bank yang mendapat jatah mendistribusikan FLPP, BNI betul-betul berupaya mengelola fasilitas tersebut dengan baik. “Meski ini sifatnya insentif, kami harus mengelola amanah ini sebaik-baiknya. Jangan sampai debitur terkendala membayar kawajibannya,” ujarnya.

    Ryan Kiryanto juga menegaskan, dampak krisis yang diakibatkan Covid-19 terhadap tingkat pengembalian kredit perbankan di Indonesia saat ini berbeda jauh dengan kasus subprime mortgage (KPR berkualitas rendah) yang memicu krisis finansial di AS dan global pada 2008, menyusul kebangkrutan Lehman Brothers, salah satu bank investasi tertua dan terbesar di AS.

    Perkembangan NPL Bank Umum

    Dia mengatakan, kredit macet di AS saat itu terjadi karena KPR-KPR berkualitas rendah dijadikan underlying asset bagi berbagai produk derivatif. Selain itu, rumah yang dibeli secara kredit bukan merupakan rumah pertama (kebutuhan primer sebagai tempat tinggal), melainkan rumah kedua atau ketiga (untuk investasi dan spekulasi).

    “Jatuhnya Lehman Brothers saat itu karena sekuritisasi pada rumah kedua yang macet,” tuturnya.

    Kondisi di Indonesia, menurut Ryan Kiryanto, sungguh berbeda. Sekuritisasi rumah kedua di Tanah Air masih sedikit, sehingga tidak begitu berdampak pada kualitas kredit.

    “Konsepsi ini tidak terjadi di Indonesia karena tidak ada sekuritisasi seperti itu. Di Indonesia ada dua jenis, yaitu real demand, yaitu mereka yang benar-benar membutuhkan rumah baru. Lalu mereka yang mengajukan KPR untuk memenuhi kebutuhan KPR kedua atau untuk kegunaan komersial. Nah, segmen KPR kedua ini terhitung sedikit,” papar Ryan Kiryanto, seperti dilansir Investor Daily. (S-ID/jr — Foto Ilustrasi Istimewa)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini