PRIORITAS, 1/6/25 (Seoul): Jelang Pilpres Korea Selatan pada 3 Juni 2025, gelombang hoaks dan disinformasi membanjiri media sosial dan grup percakapan Daring. Serangan ini diduga sengaja diarahkan untuk memecah belah pemilih serta mencoreng kandidat yang unggul dalam survei. Serangan informasi palsu sebagian besar menyasar isu intervensi asing dan manipulasi sistem pemilu oleh pihak luar.
Beritaprioritas melansir AFP yang melaporkan, salah satu unggahan viral menyatakan warga negara asing (WNA), termasuk warga China, bisa mencoblos cukup dengan memiliki alamat email.
“Bahkan orang asing pun bisa memilih selama mereka punya alamat email!” tulis unggahan tersebut, yang kemudian dibantah tim pemeriksa fakta AFP.
Pihak AFP memastikan sistem Pilpres Korea Selatan tidak mengizinkan pemilih non-warga negara untuk terdaftar tanpa verifikasi resmi dan dokumen hukum.
Target utama: Lee Jae-myung
Kandidat oposisi dan unggulan dalam jajak pendapat, Lee Jae-myung, menjadi sasaran utama hoaks. Foto hasil rekayasa memperlihatkan dirinya membungkuk di depan patung Mao Zedong serta mengenakan masker bergambar bendera China.
“Sekarang tuduhan bahwa kandidat progresif tunduk pada Tiongkok lebih menggema — terutama di tengah memanasnya ketegangan AS-Tiongkok,” tutur Profesor Komunikasi Media dari Universitas Sungkonghoe, Choi Jin-bong, dilansir Beritaprioritas.com dari AFP.
“Meskipun tidak benar, narasi ini tetap berguna secara politik bagi kelompok konservatif sebagai upaya terakhir menghadang kemenangan Lee,” sambung Choi.
Disinformasi terhadap kandidat konservatif
Disinformasi juga menyerang kandidat dari kubu konservatif. Gambar hasil suntingan menunjukkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendukung deklarasi kampanye Han Duck-soo, yang sebelumnya mencalonkan diri lewat Partai Kekuatan Rakyat (PPP).
Setelah gagal menjadi capres PPP, Han mundur dari bursa pencalonan. Namun, hoaks terus beredar lewat kanal-kanal YouTube sayap kanan. Salah satu YouTuber populer bahkan menyebarkan klaim Pentagon mendukung kandidat PPP, Kim Moon-soo.
“Itu sepenuhnya tidak benar,” kata Juru Bicara US Forces Korea kepada AFP, menanggapi tuduhan tersebut.
“Disinformasi seperti ini tetap punya daya tarik karena bisa dimanfaatkan aktor politik,” imbuh Profesor Ilmu Politik Universitas Nasional Incheon, Lee Jun-han.
“Narasi-narasi itu menyentuh sisi emosional pemilih—ketakutan, identitas, dan kekhawatiran akan pengaruh asing,” tambahnya.
Ancaman disinformasi berbasis AI
Teknologi kecerdasan buatan makin memperparah penyebaran kabar palsu. Pada April 2025, video deepfake menampilkan Lee Jae-myung tengah bercanda soal ayam goreng sambil mengakhiri aksi mogok makan.
Video itu ternyata hasil rekayasa dari foto asli Lee saat dirawat di rumah sakit tahun lalu, saat ia memprotes kebijakan Presiden Yoon Suk Yeol.
“Disinformasi berbasis AI mengancam demokrasi karena menghalangi pemilih mengakses informasi yang andal,” ungkap Ahli Demokrasi dan Teknologi Universitas Sangji, Song Kyeong-jae.
“Jika keputusan dibuat berdasarkan konten manipulatif, dampaknya tidak bisa dibatalkan dan konsekuensinya bisa sangat dalam,” sambung Song.
Manipulasi data survei
Upaya manipulasi tak hanya berhenti di konten visual. Grafik viral yang mengklaim Kim Moon-soo mengungguli Lee dalam survei terbaru ternyata menggunakan data lama dari Januari dan Februari 2025.
Tanggal survei sengaja dihapus agar publik mengira hasil itu baru. Padahal, hasil survei resmi bulan Mei menunjukkan Lee unggul minimal lima poin atas pesaing terdekatnya. (P-Khalied Malvino)
No Comments