Jakarta, 20/4/21 (SOLUSSInews.com) – Ini penting. Menjaga kualitas udara tetap baik menjadi tugas seluruh elemen masyarakat. Pasalnya, kualitas udara di suatu daerah merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan yang ada di kawasan tersebut.
Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Budi Haryanto mengungkapkan, polusi udara merupakan salah satu penyumbang penyakit terbesar di dunia. Yakni, dengan proporsi lebih dari 50 persen penyakit diakibatkan oleh polusi udara kota-kota besar di seluruh dunia.
“Proporsi penyakit yang terbanyak itu disebabkan oleh pencemaran udara. Kalau penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan, minuman itu sekitar 15 persen, tapi kalau di pencemaran udara itu lebih dari 50 persen,” ujar Budi Haryanto kepada Komunitas Bicara Udara melalui video di laman Instagram @bicaraudara, Jakarta, Senin (19/4/21).
Budi menambahkan, manusia tidak bisa memilih udara yang akan dihirup dan semua hal yang berefek terhadap kesehatan melalui udara masuk ke dalam tubuh.
“Kalau kualitas udara itu tidak dibenahi, tidak dibersihkan maka semuanya akan masuk ke tubuh dan sudah jelas berbagai macam senyawa kimia, berbagai macam pencemaran udara yang lain, polutan masuk kedalam tubuh dan berefek kepada kesehatan,” ungkapnya.
Budi juga telah melakukan penelitian sejak 2013 hingga 2017 dengan melakukan modeling prediksi yang menunjukan bahwa hingga 2050 tingkat polusi udara akan terus meningkat.
Dengan melihat data yang mengkhawatirkan tersebut dan terus meningkatnya sumber polusi udara seperti pertumbuhan kendaraan bermotor, dapat dipastikan jika tidak dikendalikan, pada 2030 saja polusi udara akan meningkat hingga 60 persen dari kondisi saat ini.
“Hingga tahun 2050 itu kalau kita tidak melakukan sesuatu yang revolusioner untuk mengendalikan pencemaran udara, maka semua parameter pencemar udara itu trennya akan naik terus. Tahun 2030 itu bisa 50 persen hingga 60 persen lebih tinggi dibandingkan dengan sekarang,” jelasnya.
Budi menamabahkan, untuk melihat kualitas udara, pemerintah harus memperbanyak alat pendeteksi udara. Menurutnya untuk saat ini tidak perlu lagi berpikir tentang harga alat yang semakin modern semakin terjangkau.
“Karena sebenarnya teknologi semakin modern seperti sekarang ini, alat-alat itu semakin canggih dan tidak lagi mahal, kalau dulunya kita beli sampai miliaran satu alat monitoring station, sekarang gak perlu harus semahal itu lagi,” pungkasnya.
Lebih mematikan
Sementara itu, Laporan Kualitas Udara Dunia 2020 telah menemukan polusi udara ternyata masih lebih mematikan di beberapa negara dibandingkan pandemi Covid-19. Meskipun penutupan Covid secara singkat meningkatkan kualitas udara, polusi mematikan di beberapa negara sudah melebihi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Disebut situs RT, laporan tersebut memaparkan bagaimana pandemi Covid dan penguncian yang diakibatkannya memiliki dampak lingkungan positif, meningkatkan kualitas udara ketika orang tinggal di rumah. Tetapi tidak cukup untuk mengurangi polusi di banyak negara ke tingkat yang aman yang ditetapkan oleh pedoman WHO.
Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, yang ikut menulis laporan, menemukan, hanya 24 dari 106 negara yang dipantau memenuhi target kualitas udara aman. Beberapa daerah masih mengalami polusi enam hingga delapan kali lebih tinggi daripada ambang batas yang disarankan.
BACA JUGA
Meskipun India mengalami penurunan 15 persen, Asia Selatan tetap menjadi kawasan paling tercemar di dunia. Sementara, walaupun Tiongkok mengalami penurunan konsentrasi pencemaran hingga 11 persen, negara itu masih 2,5 kali lebih tinggi dari target yang disyaratkan.
Bagian dari kegagalan untuk mendapatkan kualitas udara ke tingkat yang aman secara global ialah karena kebakaran hutan di daerah seperti Australia, California dan Amerika Selatan, dimana menyebarkan polutan berbahaya ke atmosfer.
WHO telah menyerukan tindakan terhadap polusi udara, karena penelitian telah menunjukkan, hal itu dapat mengurangi umur rata-rata hingga tiga tahun dan menyebabkan sekitar delapan juta kematian dini per tahun.
Lauri Myllyvirta, salah satu analis utama di balik penelitian tersebut, meminta pemerintah untuk menggunakan dampak lingkungan dari karantina wilayah. Momen ini menjadi kesempatan untuk beralih ke energi bersih dan transportasi bersih, bekerja untuk menemukan “cara berkelanjutan” dalam membangun perbaikan yang terjadi di 2020.
“Mempercepat transisi ke energi bersih dan transportasi bersih tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga secara dramatis mengurangi biaya terkait perawatan kesehatan,” kata Avinash Chanchal dari Greenpeace India. (S-BS/jr)