26.3 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

    Wow !!! Pertamina diskon 30 persen Pertamax dan DEX Series, harga BBM bersubsidi tak bisa otomatis turun

    Terkait

    Jakarta, 2/5/20 (SOLUSSInews.com) – Satu lagi khabar gembira dari Pertamina, di tengah merrbaknya virus corons atau Covid-19.

    Dilaporkan, pihak PT Pertamina (Persero) memberikan diskon sebesar 30 persen untuk BBM jenis Pertamax series (Pertamax, Pertamax Turbo) dan DEX Series (Pertamina DEX, Dexlite) melalui cashback pembelian nontunai di SPBU Pertamina dengan menggunakan LinkAja dari aplikasi My Pertamina.

    “Ramadhan Cashback 30 persen #BerkahDiRumah MyPertamina merupakan Program Loyalty yang diberikan kepada konsumen,” kata VP Communication Pertamina, Fajriyah Usman dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (2/5/20).

    Cashback saldo yang didapatkan yaitu sebesar 30 persen atau maksimal Rp20.000 per hari per satu kali transaksi pertama untuk 2.000 konsumen pertama per hari selama periode program dari tanggal 27 April – 23 Mei 2020.

    “Konsumen bisa mendapatkan cashback tersebut dengan membeli produk Pertamax Series dan Dex Series di SPBU yang sudah terkoneksi dengan aplikasi My Pertamina” jelas Fajriyah.

    Penyediaan produk Pertamax Series dan Dex Series merupakan bagian dari komitmen Pertamina untuk produk BBM berkualitas sebagai bagian dari mendukung pemanfaatan energi yang ramah lingkungan.

    Lebih lanjut Fajriyah menyampaikan, program ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang bekerja di sektor kesehatan, logistik, industri strategis dan sektor lain yang diperbolehkan beroperasi selama masa PSBB.

    Program cashback ini diharapkan dapat meringankan beban ekonomi masyarakat yang sedang menghadapi pandemi Covid-19.

    Selain itu, apabila konsumen ingin menikmati layanan pesan antar Pertamina Delivery Service produk BBM dan LPG, konsumen dapat menghubungi Pertamina Call Center 135.

    Tidak otomatis turun

    Sementara itu, anjloknya harga minyak dunia di tengah pandemi corona virus disease 19 (Covid-19) tidak serta merta bisa diikuti dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti Solar dan Premium. Namun, hal ini berbeda dengan BBM nonsubsidi seperti Pertamax, Pertalite hingga Pertamax Turbo yang sejak dua bulan lalu bisa turun mengikuti harga pasar minyak dunia.

    Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, harga BBM ditentukan oleh banyak variabel dan tidak bisa dibandingkan dengan negara lain. Penetapan harga oleh PT Pertamina (Persero) pun menurutnya harus dilihat secara holistik yang tak hanya bermain di sektor hilir, namun juga hulu.

    “Dengan kondisi ini maka industri hulu migas banyak keluarkan biaya lain yang secara berkesinambungan. Tidak bisa bandingkan Pertamina di Indonesia dan Malaysia karena luasan beda, biaya distribusinya juga beda. Banyak biaya variabel yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun Pertamina dalam menghitung acuan sebagaimana yang diatur dalam Kepmen 62 Tahun 2020 untuk non subsidi atau Kepmen 62 Tahun 2019 untuk BBM penugasan. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan bagaimana harga yang pas untuk masyarakat,” ujarnya dalam diskusi Zoom dengan topik “Minyak Turun, Berkah atau Musibah”, Kamis (30/4/20) lalu.

    Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyebutkan, saat ini terjadi penurunan konsumsi untuk BBM sebanyak rata-rata 34%, bahkan di DKI Jakarta hingga 54% seiring pemberlakuan dan social distancing dan PSBB guna mencegah penyebaran virus corona, sehingga Pertamina sebenarnya tidak dalam posisi yang terlalu menguntungkan. Pasalnya, bisnis Pertamina yang untung di sektor hulu ketimbang hilirnya. Selain itu, selama minyak tinggi merangkak naik sejak tahun 2017, harga Premium juga tidak naik.

    “Dengan harga BBM yang hari ini dan lalu, inflasi toh sebatas 3,4%. Komponen BBM dan fluktuasinya akan tinggi bila jadi main-mainan. Kami memikirkan sejauh itu, jadi tidak serta merta harus turun. Kami harus realistis dengan keadaan,” katanya dalam diskusi yang dipandu Direktur Pemberitaan Berita Satu Media Holdings Primus Dorimulu.

    Sugeng menambahkan, untuk kawasan regional ASEAN, BBM di Indonesia masih cukup murah. Hanya kalah dengan Malaysia, tapi perlu dicatat Malaysia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang produksinya aman dan tergabung OPEC.

    Di sisi lain, harga minyak mentah dunia dinilai Ekonom Konstitusi Defiyan Cori masih fluktuatif secara simultan. Penurunan harga minyak dunia tahun 2020, terjadi pada bulan Januari 2020, yaitu US$ 63-65 per barel dari sebelumnya US$ 60,84-65 per barel pada bulan September 2019. Sementara pada bulan Februari dan Maret 2020 harga minyak dunia kembali turun menjadi US$ 32-35 per barrel. Artinya, selama enam bulan terakhir fluktuasi harga minyak dunia berada pada interval US$ 30 per barel, yang kemudian menjadi US$ 20-23 per barel pada awal April 2020.

    Terhadap perkembangan musibah pandemi covid-19 dan kecenderungan harga minyak mentah dunia yang anjok ini, maka pemerintah harus berhati-hati mengambil sikap dan kebijakan yang tepat, serta mengeluarkan stimulus. Di samping itu, fluktuasi harga minyak mentah dunia ini harus menjadi perhatian pemerintah dan negara-negara penghasil minyak dunia agar kestabilan ekonomi antar kawasan dan dunia tidak terganggu. Dunia pun memang membutuhkan keseimbangan baru.

    Senada, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto menilai, saat ini industri sedang mencari keseimbangan baru dalam harga minyak, seiring dengan pengembangan energi baru terbarukan dan isu lingkungan. “Sejak tahun 2008, posisi hari ini sudah bottom, bahkan dikeseimbangan berikutnya akan sulit kembali lagi ke US$ 80 per barel setelah pernah US$ 110 per barel, paling kalau kembali hanya di US$ 50-60 per barel,” sebutnya.

    Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, sejalan dengan prediksi pandemi ini akan selesai pada Juli, maka Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan sudah berancang-ancang untuk memperbaiki produksinya karena industri manufaktur sudah mulai berjalan. Di mana, langkah tersebut akan diikuti oleh negara G7 di Eropa.

    “Kalau produksi manufaktur barang dan jasa meningkat, maka otomatis permintaan minyak meningkat, dan stok yang ada bisa terserap dan haga berangsur-angsur mulai ke titik normal kembali,” ungkap Dwi Soetjipto. (S-BS/jr)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -

    Terkini