Washington, 25/8/20 (SOLUSSInews.com) – Fakta menunjukkan, pandemi Covid-19 membayangi kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga khususnya kepada perempuan. Bagi beberapa orang, stres karena lockdown, ditambah kehilangan pekerjaan dan pembatasan lain semakin memperburuk situasi pelecehan yang sudah ada. Namun, bagi sebagian orang lainnya, pelecehan menjadi hal baru akibat rasa frustasi dan kekhawatiran.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada April sudah memperingatkan bayangan pandemi telah menyebabkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan. Perilakunya tidak terbatas kekerasan secara fisik, seksual, atau psikologis, tapi bisa termasuk taktik seperti pemaksaan pernikahan anak.
“Ini membuat stres siapa pun. Tapi ketika kamu menghadapi masalah keuangan dan pasangan yang kasar dan pengangguran, itu adalah resep yang buruk,” kata Direktur Eksekutif Family Place, Paige Flink, dikutip dari VOA, Sabtu (22/8/20).
Family Place merupakan organisasi berbasis di Dallas, Texas, yang berfokus untuk menghentikan kekerasan dalam keluarga.
“Di seluruh dunia, perempuan paling mungkin menjadi korban karena mereka kurang berpendidikan dan kurang mampu melakukan kontrol atas kehidupan mereka sendiri,” katanya.
Secara keseluruhan, menurut majalah Texas Monthly, panggilan kepada saluran telepon (hotline) khusus laporan KDRT di Texas meningkat pada Maret saat negara bagian itu menerapkan lockdown, sekalipun permintaan bantuan dari daerah pedesaan justru menurun.
Sebagian penurunan disebabkan kesenjangan digital karena sepertiga penduduk tidak memiliki koneksi internet di rumah. Atau, beberapa otoritas menyatakan penurunan terjadi karena korban tidak bisa menghindari pelaku kekerasan untuk meminta bantuan selama lockdown. Demikian VOA. (S-VOA/BS/jr)