PRIORITAS, 5/5/25 (Osaka): Sebuah forum bisnis bertajuk bertajuk Tuna Talks: Exploring Tradition, Heritage & Sustainability in Indonesia’s Tuna Fisheries diwadahi oleh Paviliun Indonesia di World Expo 2025 Osaka, Kansai, Jepang. Demikian informasi yang diterima Beritaprioritas.com, Senin (5/5/25) ini.
Disebutkan, gagasan terkait Tuna Talks diinisiasi oleh Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Yayasan International Pole and Line Foundation (IPLF) Indonesia (YII), Marine Change, dan FairTrade USA (FTUSA), serta dikoordinasikan Resonance Global.
Diketahui pula, pertemuan itu mendalami praktik perikanan tuna berkelanjutan di Indonesia serta membahas pentingnya kolaborasi internasional dan tata kelola laut berkelanjutan. “Partisipasi Indonesia dalam World Expo 2025 Osaka ini tidak hanya menampilkan kekayaan alam dan budaya, tetapi juga untuk menggali potensi investasi dan kolaborasi dengan negara-negara lain,” ujar Direktur Paviliun Indonesia, Didik Darmanto dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Senin (5/5/25).
Praktik beserta tradisi perikanan tuna
Selanjutnya, pada forum tersebut, berbagai perwakilan dari Indonesia dan internasional memberikan pandangan masing-masing terhadap praktik beserta tradisi perikanan tuna di tanah air.
Sementara Strategic Lead Indonesia Tuna Consortium, Tilma Komaling menyampaikan, nilai ekonomi dari tuna bukan hanya terletak pada besarnya volume ekspor.
“Setiap irisan Sashimi Tuna bukan sekadar hasil perdagangan, itu adalah simbol perjuangan nelayan, harapan keluarga, dan komitmen dua negara dalam membangun ekonomi biru yang berkelanjutan,” katanya.
Indonesia mitra utama
Sedangkan Perwakilan Seafood Legacy, Aiko Yamauchi menyoroti peran Indonesia sebagai mitra utama dalam rantai pasok tuna global. Saat ini, Indonesia disebut menjadi salah satu pemasok tuna terbesar kedua untuk pasar Jepang dari total ekspor global sebesar 52,7 ribu ton.
Diketahui, salah satu praktik penangkapan ikan yang didalami dalam forum Tuna Talks ialah metode tradisional Huhate atau pancing joran. Praktik tersebut sering diterapkan di Maluku, Ternate, dan Tidore. Metode ini dianggap lebih ramah lingkungan karena hanya menangkap ikan berukuran besar, menghindari tangkapan sampingan atau bycatch, dan tidak merusak habitat laut.
Terkait itu, Kai García Neefjes dari YII menyampaikan, Indonesia dapat belajar banyak dari praktik Jepang yang mengelola perikanan tuna dengan sangat hati-hati. Jepang dinyatakan memiliki sistem yang memastikan umpan tetap hidup di atas kapal lebih lama, sehingga memungkinkan nelayan menangkap ikan dengan cara lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Kami ingin mengadaptasi beberapa teknik ini ke Indonesia untuk meningkatkan kualitas tangkapan nelayan lokal tanpa merusak ekosistem laut,” demikian Kai García.
Penguatan kelembagaan komunitas nelayan
Sementara itu, Perwakilan MDPI, Sri Sumiati Jalil menambahkan, penguatan kelembagaan komunitas nelayan menjadi kunci menuju perikanan yang lebih adil.
Disebutnya, perekonomian berkelanjutan dimulai dari pengorganisasian komunitas nelayan dalam koperasi yang memungkinkan mereka mengurangi ketergantungan pada perantara lokal. Dengan menciptakan rantai pasokan yang lebih pendek dan lebih menguntungkan, lanjutnya, mereka bisa mendapatkan manfaat langsung dari hasil tangkapan mereka dan meminimalisir kerugian.
Sedangkan Glaudi Perdanahardia dari YKAN menegaskan, urgensi pengelolaan wilayah tangkap secara tepat. Pihaknya menilai salah satu tantangan terbesar pengelolaan perikanan adalah mengatur area dan waktu yang tepat untuk menjaga keseimbangan stok ikan.
Ia memberi contoh, penutupan area di Laut Banda untuk mendukung pemulihan stok tuna dianggap bukan hal yang mudah, tetapi ini langkah nyata dan penting untuk menjaga ekosistem perikanan yang sangat produktif di Indonesia.
“Forum bisnis Tuna Talks ini menjadi upaya Indonesia memperkuat posisi sebagai negara kepulauan dengan berkomitmen terhadap pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan, sekaligus menunjukkan praktik lokal seperti Huhate menjadi contoh nyata praktik ekonomi biru yang seimbang secara ekologis, ekonomi, dan sosial,” ujar Didik Darmanto. (P-*r/Selvijn R)