26.9 C
Jakarta
Wednesday, December 4, 2024

    Setara: TWK perintah UU, bukan wilayah hukum HAM tapi hukum Tata Negara, pemanggilan Komnas HAM mengada-ada, Pakar: Itu bukan pelanggaran HAM, Pimpinan KPK minta penjelasan

    Terkait

    Jakarta, 10/6/21 (SOLUSSInews.com) – Adanya pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kepegawaian Nasional bukan saja tidak tepat, tetapi juga berkesan mengada-ada. Karena seperti hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK alias jumlahnya kurang dari 5,4 persen pegawai KPK.

    Demikian disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi melalui keterangan tertulis yang diterima, Kamis (10/6/21).

    Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui vendor Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan beberapa instansi terkait yang profesional ialah, kata Hendardi, semata urusan administrasi negara dimana masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).

    “Dan hal ini merupakan perintah Undang-Undang (UU) dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” tuturnya.

    Dikatakannya, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. Semestinya, Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi persoalan sebelum memanggil.

    “Komnas HAM semestinya meneliti dan jelaskan dahulu ruang lingkup materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi, sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN,” kata Hendardi.

    Aktivis HAM, Kesetaran dan Keberagamaan ini menganalogikan, “jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian sebagian kecil yang tidak lulus, apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM serta langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM”, tanya Hendardi.

    “Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun. Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights),” tegasnya.

    Disisi lain, Hendardi berujar dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah tes antara lain tentang kebangsaan.

    “Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4 persen) yang menuntut diistimewakan,” tandas Hendardi.

    Disebutnya, dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja ada pelanggaran terjadi, misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). Tapi, ungkap Hendardi, tentu harus dibuktikan dengan data yang valid.

    Dengan bijak Hendardi sampaikan, sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan, karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

    “Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lain-lain. tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu,” pungkasnya.

    Komnas HAM mengada-ada

    Ketua Setara Institute Hendardi u7ga mengatakan pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) bukan saja tidak tepat, tetapi berkesan mengada-ada karena seperti hanya terpancing irama 51 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Padahal pegawai yang tidak lulus jumlahnya kurang dari 5,4 persen dari total pegawai KPK.

    Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi

    Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (Foto: Suara Pembaruan)

    “TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN),” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya Kamis (10/6/2021).

    Hal ini merupakan perintah Undang-undang (UU) dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana.

    Dikatakan, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah-olah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.

    “Analoginya, jika ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM?” kata Hendardi.

    Dia mengatakan dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dengan mudah digunakan sebagai alat.

    Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).

    Dalam persoalan alih status menjadi ASN dimana pun, sangat wajar jika pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Pasalnya untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah tes antara lain tentang kebangsaan.”Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus yang menuntut diistimewakan,” katanya lagi.

    Pimpina KPK minta penjelasan

    Sementara itu, Pimpinan dan Sekjen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima surat pemanggilan permintaan keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK). KPK mengakui telah menerima surat pemanggilan dari Komnas HAM pada Rabu, 2 Juni 2021 lalu.

    Ali Fikri.

    Ali Fikri. (Foto: Antara)

    “Pimpinan dan Sekjen KPK telah menerima surat dari komnas HAM tertanggal 2 Juni 2021 terkait aduan Test Wawasan Kebangsaan pegawai KPK. Tentu pimpinan KPK sangat menghargai dan menghormati apa yang menjadi tugas pokok fungsi Komnas HAM, sebagaimana tersebut didalam ketentuan yang berlaku saat ini,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (8/6/21).

    Ali menyampaikan, pimpinan KPK telah melayangkan surat kepada Komnas HAM pada Senin (7/6/21). Dalam surat itu, pimpinan KPK meminta penjelasan terlebih dahulu mengenai dugaan pelanggaran HAM dalam alih status pegawai KPK.

    “Tindak lanjut surat dimaksud, Senin, 7 Juni 2021 Pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK,” ujar Ali.

    Ali menekankan, proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan perintah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dengan demikian, kata Ali, KPK telah melaksanakan UU tersebut melalui TWK.

    “Pelaksanaan TWK dilakukan oleh BKN bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya melalui proses yang telah sesuai mekanisme sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ali.

    Sebelumnya, Komnas HAM menjadwalkan meminta keterangan pimpinan KPK terkait polemik TWK pada hari ini. Komnas HAM berharap Firli Bahuri atau pimpinan KPK lainnya dapat memenuhi panggilan tersebut untuk membuka tabir polemik TWK yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. “Kita berharap mereka bisa hadir,” kata Anam.

    Bukan Pelanggaran HAM

    Pakar komunikolog Emrus Sihombing mengatakan, pelaksanaan TWK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah sesuai dengan perundang-undangan, dan bukan merupakan pelanggaran HAM.

    Emrus Sihombing mengemukakan hal itu di Jakarta, Selasa lalu, ketika merespons Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pemanggilan terhadap pimpinan KPK.

    Pemanggilan tersebut terkait dengan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN.

    “Pelaksanaan TWK untuk alih status menjadi ASN merupakan perintah UU. Jadi, siapa pun pimpinan KPK pasti melakukan hal itu. KPK hanya melaksanakan UU. Jadi, masih sangat jauh dari kemungkinan tidak sesuai dengan atau potensi pelanggaran HAM,” kata Emrus melalui keterangan, Selasa (8/6/21).

    Emrus menjelaskan, materi TWK disusun berdasarkan basis keilmuan dari para pihak yang membuatnya.

    Disebutnya, banyak instrumen yang hendak diukur para pembuat TWK peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, antara lain mengukur gradasi pengetahuan atau kesadaran, konstruksi sikap, bentuk perilaku, dan kepribadian terkait dengan kebangsaan.

    Ia mengatakan, pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam TWK itu telah melawati tes validitas dan reliabilitas.

    Emrus juga membagikan pengalamannya ketika mengikuti tes yang serupa.

    “Paket kuesioner dijilid dalam satu buku ukuran sedang disertai nomor atau kode tertentu yang terlebih dahulu diisi oleh peserta tes pada lembar jawaban. Kode ini bukan sebagai bobot materi antar paket, melainkan sekadar tanda pembedaan,” katanya.

    Materi TWK tersebut, lanjutnya, diberikan kepada semua peserta sehingga tes itu telah memenuhi konsepsi keadilan.

    “Hasilnya, ada yang memenuhi syarat (MS) dan ada yang tidak memenuhi syarat (TMS). Seandainya pun yang TMS lebih banyak dari MS, itu biasa saja dalam suatu tahapan proses tes,” katanya.

    Emrus mengaku belum melihat urgensi Komnas HAM melakukan pemanggilan terhadap pimpinan KPK terkait dengan TWK tersebut.

    Ia menyarankan Komnas HAM agar memprioritaskan penanganan pelanggaran HAM berat, seperti hilangnya nyawa orang yang sama sekali tidak berdosa, daripada urusi TWK dimana jauh kemungkinan tidak sesuai dengan HAM. Demikian ANTARA. (S-BS/ANT/jr)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini