Tonton Youtube BP

Semangat Konsili Vatikan II: KWI dorong kaum muda katolik hadir mengambil peran kebangsaan

Wilson Lumi
6 Dec 2025 11:45
3 minutes reading

PRIORITAS, 6/12/2025 (Jakarta): Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta terasa hangat, kursi-kursi penuh oleh umat, aktivis, dan kaum muda Katolik yang datang untuk satu tujuan, merefleksikan perjalanan 60 tahun Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem (AA), serta memperbarui komitmen untuk hadir lebih nyata dalam kehidupan bangsa.

Dalam seminar nasional yang diselenggarakan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) KWI bersama Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI), ajakan yang sama terus mengemuka—bahwa umat Katolik tidak boleh hanya menjadi penonton dalam isu sosial, politik, ekonomi, atau lingkungan hidup.

Ketua Komisi Kerawam KWI, Mgr. Yohanes Harun Yuwono, membuka refleksi dengan mengingatkan bahwa Dekrit AA lahir dari semangat aggiornamento—pembaruan diri Gereja agar tetap relevan bagi dunia yang terus berubah.

“Semangat Dekrit AA mendorong pembaharuan diri Gereja dengan meningkatkan peran umat awam di segala bidang pelayanan sekular,” tegas Mgr. Harun.

Baginya, umat awam bukan sekadar pelengkap Gereja, tetapi memiliki martabat sebagai pribadi yang dibaptis dan karenanya berhak serta berkewajiban mengambil bagian penuh dalam misi Gereja di tengah masyarakat.

Di tengah dinamika bangsa, panggilan itu semakin terasa mendesak. Dekrit AA menempatkan umat Katolik sebagai aktor aktif dalam membentuk tata dunia baru—dengan semangat kasih, pelayanan, dan kegigihan memperjuangkan kebenaran.

Politik, medan godaan sekaligus pelayanan

Bagian paling hangat dari seminar ini muncul ketika isu politik dibahas. Dr. J. Kristiadi, Peneliti Senior CSIS sekaligus anggota DKPP RI, menggambarkan panggilan politik umat Katolik dengan metafora yang kuat: menjadi “garam dan terang dunia”.

Namun, ia tidak menutupi bahwa politik adalah “medan siasat” yang sarat godaan. “Tugas kita adalah menghadapinya dengan karakter, bukan aji mumpung,” katanya.

Ia menegaskan pentingnya kaderisasi yang serius, sistematis, dan berbasis nilai Kristiani untuk memastikan generasi muda tidak terseret arus politik uang dan pragmatisme.

Sementara, Desiana Samosir, aktivis dan Direktur Eksekutif ELSAM, berbicara dari pengalaman sebagai perempuan muda Katolik yang aktif di ruang publik.

Baginya, keterlibatan sosial adalah wujud panggilan Kristiani—merasul sambil menjalankan karya kasih.

Ia menegaskan bahwa kaum muda (usia 13–35 tahun) adalah energi perubahan, dan kontribusi mereka harus didasari Ajaran Sosial Gereja seperti Gaudium et Spes dan Rerum Novarum.

“Jangan biarkan orang lain mengambil keputusan mengenai nasibmu tanpa kamu terlibat di dalamnya,” seru Desiana, mengutip pesan Mgr. Soegijapranata yang menggema puluhan tahun kemudian.

RP. Dr. Andreas B. Atawolo, OFM, membawa refleksi ke akar panggilan awam. Ia menyebut umat awam sebagai “jembatan” antara dunia sehari-hari dan spiritualitas Gereja.

“Awam itu berhadapan langsung dengan pekerjaan, komunitas, lingkungan. Tetapi semuanya harus dijalani dengan semangat Kristiani,” jelasnya.

Romo Andre menekankan kerasulan keluarga sebagai landasan, serta pentingnya kaderisasi berbasis praksis—bukan hanya teori di ruang kelas—agar umat muda siap menghadapi era digital, krisis ekologi, dan tantangan moral zaman ini.

Seminar ini bukan sekadar perayaan 60 tahun sebuah dokumen. Lebih dari itu, ia menjadi ruang refleksi bagi Gereja Katolik di Indonesia pasca Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) V. Ada kesadaran yang tumbuh bahwa perjalanan Gereja tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bangsa.

Dengan semangat Apostolicam Actuositatem, umat Katolik diajak bergerak: hadir di ruang publik, terlibat dalam keputusan bersama, membela martabat manusia, dan menjadi saksi nilai-nilai Kristiani dalam dunia yang terus berubah. (P-rd/bwl)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x