Tonton Youtube BP

Rektor bukan ‘kambimg hitam proyek’, membaca ulang kasus Prof. Ellen Kumaat

Deky Geruh
20 Oct 2025 21:09
4 minutes reading

Oleh : Vebry Tri Haryadi, Praktisi Hukum

Penahanan mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Prof. Dr. Ellen Joan Kumaat, oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dalam dugaan kasus korupsi proyek pembangunan gedung kampus, menimbulkan gelombang opini publik yang keras. Banyak yang tergesa menilai, sedikit yang meneliti.

Padahal, di balik gemuruh pemberitaan, tersembunyi satu persoalan serius dalam sistem hukum kita, yaitu mudahnya jabatan dijadikan kambing hitam dari kesalahan kolektif birokrasi.

Rektor dan Peran Administratifnya

Dalam sistem pengelolaan keuangan negara, kedudukan Rektor bukanlah pelaksana proyek, melainkan pejabat administratif yang bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan tegas menyebut bahwa KPA hanya melaksanakan sebagian kewenangan dari Pengguna Anggaran, sementara tanggung jawab pelaksanaan berada pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Dengan kata lain, Rektor tidak terlibat langsung dalam proses lelang, kontrak, hingga pengawasan teknis proyek.

Ia hanya menandatangani dokumen administratif berdasarkan laporan dari tim teknis dan pejabat terkait. Tanggung jawab operasional dan hukum atas pelaksanaan pekerjaan berada di tangan PPK, konsultan pengawas, dan kontraktor pelaksana.

Sayangnya, dalam praktik penegakan hukum, perbedaan mendasar ini sering diabaikan. Ketika ditemukan kerugian negara, aparat hukum cenderung menarik garis lurus ke atas — ke nama tertinggi di struktur birokrasi. Padahal, tidak semua tanda tangan berarti niat jahat.

Dari Kerugian Negara ke Kriminalisasi Jabatan

Salah satu kekeliruan konseptual dalam banyak kasus korupsi di Indonesia adalah penyamaan antara kerugian negara dan perbuatan korupsi.

Padahal Mahkamah Konstitusi telah menegaskan dalam Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 bahwa tidak setiap kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara adalah tindak pidana korupsi. Banyak di antaranya hanyalah pelanggaran administratif yang harus diselesaikan secara administratif pula.

Dalam kasus Unsrat, proyek gedung yang dibiayai dari dana pinjaman luar negeri (Islamic Development Bank) dan APBN tentu melibatkan banyak pihak. Ada tim pengadaan, panitia lelang, konsultan perencana, pengawas, dan pelaksana proyek.

Menarik kesimpulan bahwa Rektor otomatis bersalah karena berada di posisi tertinggi adalah bentuk penyederhanaan hukum yang keliru dan berpotensi melanggar asas keadilan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung bahkan sudah berulang kali menegaskan hal serupa. Dalam Putusan MA No. 1087 K/Pid.Sus/2014, hakim menyatakan bahwa pejabat KPA tidak dapat dipidana semata karena jabatannya, kecuali terbukti secara nyata ikut melakukan atau memerintahkan perbuatan melawan hukum.

Ketika Akademisi Diperlakukan Seperti Politisi

Rektor adalah akademisi, bukan politisi proyek. Ia memimpin universitas berdasarkan prinsip good governance akademik: pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

Jika setiap rektor bisa ditahan hanya karena menandatangani dokumen administratif dari bawahan, maka tidak ada lagi pemimpin akademik yang berani mengambil keputusan.

Bagaimana mungkin seorang profesor yang hidupnya bergulat dengan penelitian dan pengabdian masyarakat dianggap turut menentukan jenis besi atau volume cor beton?

Ironisnya, logika hukum yang seharusnya rasional justru sering tunduk pada logika simbolik: yang tertinggi harus paling bersalah.

Inilah problem serius dalam penegakan hukum kita. Kriminalisasi jabatan atas dasar persepsi publik, bukan pembuktian obyektif.

Antara Penegakan dan Penyalahgunaan Hukum

Penegakan hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan, bukan alat pencitraan.

Ketika penegak hukum tidak lagi membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana, maka hukum berubah menjadi alat penghukuman simbolik.

Asas ultimum remedium bahwa hukum pidana adalah upaya terakhir, seakan dilupakan.

Padahal jika kesalahan bersifat administratif, sanksinya seharusnya administratif pula: teguran, perbaikan sistem, atau mekanisme audit internal.

Menjerat pejabat akademik dengan pasal pidana tanpa pembuktian niat jahat justru menimbulkan ketakutan di kalangan birokrat pendidikan tinggi.

Jika pola ini terus berulang, kita akan kehilangan banyak pemimpin jujur yang takut dijebak dalam lingkaran birokrasi yang salah.

Menegakkan Keadilan yang Proporsional

Keadilan bukan sekadar menghukum, tetapi menempatkan setiap orang sesuai porsinya. Dalam kasus ini, publik perlu menahan diri untuk tidak menghakimi sebelum pengadilan memutuskan.

Dan aparat penegak hukum perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam semangat populis “penangkapan cepat” tanpa dasar hukum kuat.

Rektor Ellen Kumaat mungkin memimpin lembaga besar, tapi itu tidak berarti beliau mengendalikan seluruh aspek teknis di dalamnya.

Menjadikan seorang rektor sebagai tersangka tanpa bukti keterlibatan langsung sama saja dengan mengorbankan akal sehat hukum di altar opini publik.

Penutup

Kita semua sepakat, korupsi harus diberantas tanpa pandang bulu. Tapi keadilan yang sejati bukan sekadar tentang siapa yang ditangkap, melainkan siapa yang benar-benar bersalah.

Ketika simbol akademik seperti rektor dijadikan kambing hitam atas kelemahan sistem, maka bangsa ini bukan sedang menegakkan hukum, melainkan sedang mengerdilkan akal sehat.

Rektor bukan pelaku proyek, ia pemimpin akademik. Dan hukum seharusnya cukup bijak untuk membedakan keduanya.(P/dg)

Tulisan ini sepenuhnya pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi Redaksi Beritaprioritas.com. Tanggung jawab isi tulisan sepenuhnya berada pada penulis.

 

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x