PRIORITAS, 29/1/25 (Jakarta): Beralih ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. EBT memiliki potensi yang sangat besar untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Sebagai contoh, energi surya dan angin tidak menghasilkan emisi karbon saat proses produksinya, sehingga dapat menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang menjadi penyumbang utama emisi karbon.
Pemanfaatan EBT secara massal dapat mempercepat transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. EBT meliputi berbagai sumber energi yang dapat diperbaharui, seperti energi surya, angin, biomassa, dan hidro.
Transisi menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) adalah langkah penting dalam upaya Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Dengan peningkatan investasi, dukungan kebijakan, dan inovasi teknologi, EBT dapat memainkan peran yang sangat vital dalam menciptakan masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Tenaga Ahli Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Satya Hangga Yudha sebut Indonesia mampu beralih dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Menurutnya, proses transisi tersebut dilakukan berdasarkan batas kemampuan nasional dan merujuk pada standar yang diterapkan negara-negara maju.
“Transisi energi harus bertahap. Kita beralih ke EBT, namun batu bara masih menjadi sumber energi yang kompetitif dan murah. Maka, supaya kita konsisten dengan penurunan emisi karbon di PLTU batu bara, maka perlu dilakukan co-firing (pencampuran) dengan biomassa dan ke depan dengan teknologi penyimpanan karbon CCS dan CCUS,” kata Hangga dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (29/1/25).
Menurut dia, tugasnya sebagai Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi adalah amanah dalam kapasitasnya membantu Menteri dan Wakil Menteri ESDM menjalankan tugas-tugasnya, yang selaras dengan Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden RI yaitu Astacita poin 2 dan 5 tentang swasembada energi dan hilirisasi.
“Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia akan mengembangkan energi baru terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil,” katanya.
Hangga mengatakan hingga 2040, lebih dari 100 GW kapasitas energi akan dibangun, yang 75 persennya berasal dari energi terbarukan, 5 GW nuklir, dan 20 GW dari gas.
Mantan Analis Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas itu berharap dengan adanya Keppres Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang dipimpin Menteri ESDM, bisa meningkatkan investasi, hilirisasi, dan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan nilai tambah pada komoditas Indonesia.
“Indonesia harus bisa beralih dari bahan bakar fosil ke EBT untuk mencapai target Paris Agreement tahun 2030 dan juga NZE di 2060. Coal phase down menjadi penting, namun harus ada solusi,” tegasnya.
Menurut Hangga, PLTU akan dipensiunkan, tetapi harus ada penggantinya. Sumber energi yang bisa menjadi base load, yang murah, dan dapat diakses oleh masyarakat adalah co-firing dengan biomassa, gas, dan EBT.
“Menteri ESDM sudah mengeluarkan kepmen tentang B40 (biodiesel) dan kami berharap kepmen tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Tahun depan, targetnya meningkat ke B50 dan seterusnya sampai B100,” ujarnya.
Terkait transportasi bahan bakar nabati atau FAME, kata Hangga, juga penting dan harus ada perusahaan yang bisa diandalkan untuk mengangkut komoditas tersebut. “Untuk subsidi BBM, listrik, dan LPG harus tepat sasaran dan skemanya akan disampaikan oleh Presiden dan Menteri ESDM,” ujarnya.
Menurut Hangga, pihaknya juga berkoordinasi dengan Komisi XII DPR dan Dewan Energi Nasional (DEN) dalam penyusunan Kebijakan Energi Nasional yang selaras dengan Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden RI. “Turunan dari KEN ada RUKN yang saat ini sedang dibahas dan RUPTL di sisi kanan. Di sisi kiri, ada RUEN dan juga RUED,” jelasnya.
Ditambahkan Hangga, di Kementerian ESDM juga sedang membahas sejumlah RUU. “Mengaktifkan sumur idle dan menggunakan teknologi IOR/EOR agar dapat meningkatkan lifting migas menjadi salah satu program prioritas,” ujarnya.
Hangga juga menyoroti peran penting generasi muda dalam pengembangan sektor energi terbarukan di Indonesia. Vice Chairman for Energy Policy, Youth Energy & Environment Council (YeC) itu pun menekankan disiplin adalah kunci sukses, baik dalam pengembangan diri maupun membangun karier.
“Generasi muda akan menjadi pemangku kebijakan di masa depan. Namun, salah satu tantangan terbesar mereka adalah kedisiplinan, terutama di era media sosial, di mana tekanan untuk meraih sesuatu dengan cepat sangat tinggi,” ujarnya. (P-bwl)