Washington, 6/11/21 (SOLUSSInews.com) – Pihak Pfizer, perusahaan farmasi Amerika Serikat, mengatakan, obat eksperimental buatannya yang sedang diuji untuk melawan virus corona sangat efektif mencegah gejala parah dan kematian bagi pasien berisiko tinggi.
Dalam pernyataannya, Jumat (5/11/21) waktu setempat, Pfizer mengatakan, obat yang baru ini nantinya akan dikombinasi dengan obat anti-virus sebelumnya, Ritonavir, untuk bisa dikonsumsi di rumah sebelum pasien terserang gejala parah dan harus masuk rumah sakit.
Hasil analisis interim, yang dilakukan sebelum uji klinis tuntas semuanya, menunjukkan obat Pfizer bisa mencegah pasien Covid-19 masuk rumah sakit atau meninggal dunia hingga 89 persen, jika tidak terlambat dikonsumsi.
Data Pfizer baru disebutkan dalam siaran pers perusahaan, belum ditelaah secara ilmiah. Juga belum resmi dipublikasikan.
Pernyataan lebih rinci akan disampaikan Pfizer saat meminta persetujuan penggunaan obat kepada Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika (FDA).
Perlambat upaya virus menggandakan diri
Obat tersebut diujicobakan pada pasien Covid-19 dewasa yang dinilai punya risiko tinggi untuk sakit parah. Para sukarelawan diberi obat asli dan sebagian mendapat placebo atau obat bohongan dalam waktu tiga-lima hari setelah gejala Covid-19 mulai terasa.
Obat Pfizer ini masih memakai kode perusahaan, PF-07321332, dan dirancang untuk mencegah virus berkembang biak dalam tubuh.
Kombinasi dengan kapsul Ritonavir bisa memperlambat upaya virus menggandakan diri di dalam tubuh pasien, menurut keterangan perusahaan.
Disebut Pfizer, hanya 0,8 persen pasien yang mendapat kombinasi obat dalam tiga hari akhirnya masuk rumah sakit empat pekan kemudian – atau tiga dari 389 pasien – dibandingkan tujuh pasien yang mendapat placebo, atau 27 dari 385 pasien.
Tujuh dari pasien yang mendapat placebo akhirnya meninggal, sementara tidak ada korban jiwa bagi penerima obat asli dalam waktu sebulan.
“Tingkat penurunan yang sama untuk kasus opname terkait Covid-19 juga terjadi pada pasien dalam lima hari sejak gejala muncul; satu persen pasien yang mendapat PF-07321332 dan Ritonavir diopname sampai hari ke-28 (enam dari 607 diopname, tanpa korban jiwa), dibandingkan 6,7 persen pasien yang mendapat placebo,” bunyi pernyataan Pfizer.
“Data ini menunjukkan bahwa obat anti-virus kami, jika disetujui oleh pihak regulator, punya potensi untuk menyelamatkan nyawa pasien, mengurangi keparahan akibat infeksi Covid-19, dan mencegah sembilan dari 10 peluang opname,” kata Albert Bourla, CEO Pfizer.
Sejauh ini FDA baru menyetujui Remdesivir atau dikenal dengan merek Veklury sebagai obat antivirus penangkal Covid-19. Obat ini dimasukkan melalui infus, sehingga tidak semudah pil atau kapsul seperti yang sedang dikembangkan Pfizer.
Kapsul obat Covid-19 lainnya yang menunggu persetujuan FDA ialah Molnupiravir buatan Merck.
Kamis kemarin, Inggris menyetujui penggunaan Molnupiravir dengan merek Lagevrio.
Vaksin Pfizer terjual Rp515 T
Sementara itu dari Washington, BeritaSatu.com, melansir, Pfizer menyatakan, penjualan vaksin Covid-19 akan memecahkan rekor lagi dengan pendapatan US$36 miliar (Rp515 triliun) pada tahun 2021. Seperti dilaporkan NYTimes, Rabu (3/11/21) waktu setempat, vaksin virus corona menghasilkan penjualan satu tahun terbesar yang pernah ada untuk produk medis, Pfizer.
Tahun 2022, Pfizer menyatakan bahkan telah mencapai kesepakatan pasokan senilai US$29 miliar (Rp415 triliun) pendapatan untuk vaksinnya tahun depan. Kesepakatan mencakup 1,7 miliar dosis vaksin yang telah dilakukan ke negara-negara di seluruh dunia.
Miliaran dolar lagi dari penjualan kemungkinan akan datang karena perusahaan mencapai lebih banyak kesepakatan untuk menjual kepada pemerintah sebanyak empat miliar dosis yang diperkirakan untuk diproduksi tahun 2022.
Pada Selasa (2/11/21), CEO Pfizer, Albert Bourla, mengatakan kepada analis, sebagian besar negosiasi perusahaan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas. Bourla khawatir, negara-negara miskin tidak berbaris untuk memesan.
“Saya tidak ingin mencapai tingkat yang lagi-lagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan tertinggal dalam pengiriman mereka karena mereka tidak melakukan pemesanan,” katanya.
Pfizer mengatakan, mereka menjual vaksin untuk negara-negara miskin dengan harga diskon. Tetapi banyak negara termiskin di dunia tidak mampu membeli dosis secara langsung.
Negara-negara miskin bergantung pada sumbangan dari Amerika Serikat dan negara-negara kaya lainnya, dan pada pasokan dari Covax, program Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk memvaksinasi dunia.
Di seluruh dunia, sekitar 75 persen dari semua vaksin yang digunakan untuk senjata telah diberikan di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, menurut proyek Our World in Data di University of Oxford. Hanya 0,6 persen dosis telah diberikan di negara-negara berpenghasilan rendah.
Angka penjualan yang sangat besar akan menghasilkan miliaran laba bagi Pfizer. Perusahaan harus membagi pendapatan vaksinnya dengan mitra pengembangan BioNTech. Lebih jauh, Pfizer mmperkirakan margin keuntungan pada vaksin akan berada di kisaran tinggi 20 persen tahun depan, margin sama yang diproyeksikan tahun ini.
Dosis yang akan diberikan tahun depan termasuk suntikan vaksin penguat, sebagian besar untuk negara-negara kaya, dan imunisasi primer, dengan penekanan pada dosis kedua, untuk negara-negara miskin.
Sebagian kecil dari dosis vaksin Pfizer akan diberikan kepada anak-anak. Perusahaan memenangkan otorisasi minggu lalu untuk vaksinnya yang akan diberikan di Amerika Serikat kepada anak-anak antara usia 5 dan 11 tahun. (S-BS/jr)