27.3 C
Jakarta
Saturday, March 15, 2025

    Keluarga korban pembunuhan sangat marah ketika melihat Rodrigo Duterte

    Terkait

    PRIORITAS, 15/3/25 (Manila): Keluarga korban pembunuhan ‘pasukan pembunuh’ di Filipina meluapkan kemarahan, ketika menyaksikan wajah Rodrigo Duterte muncul dalam siaran streaming pada pra sidang International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Kriminal Internasional, di Den Haag Belanda, Jumat malam (14/3/25).

    Jane Lee, yang suaminya terbunuh dalam ‘perang’ yang dikobarkan Duterte ketika ia berkuasa di Filipina, mengatakan dia hampir tidak mampu menahan amarahnya saat melihat wajah mantan presiden itu.

    “Ketika saya melihatnya, saya begitu marah hingga saya hampir tidak dapat mengendalikan diri,” kata wanita berusia 42 tahun itu, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari ABS-CBN, hari Sabtu (15/3/25).

    Lee juga mengatakan kepada para keluarga korban lainnya, kelompoknya akan memanfaatkan kesempatan itu untuk melanjutkan perjuangan mereka. “Kami berharap dia (Duterte) tidak kembali ke Filipina, sehingga kami bisa merasakan kedamaian,” katanya.

    Saat Hakim Ketua Pengadilan Kriminal Internasional, Iulia Antoanella Motoc, meminta tersangka mantan presiden Filipina itu menyebut identitas lengkap, muncul wajah Rodrigo Duterte. Sontak keluarga korban yang menonton di sebuah ruangan di Manila tersebut mulai berbisik mencemooh nuansa penghinaan.

    Delapan wanita duduk menyaksikan tayangan video proses hukum tersebut, beberapa di antara mereka memegang erat foto suami dan anak mereka yang menjadi korban pembunuhan akibat tindakan keras Duterte.

    Para janda dan ibu-ibu yang berkumpul ribuan mil jauhnya dari Den Haag itu, telah diberitahu sebelumnya Rodrigo Duterte hanya diminta untuk menyampaikan sedikit hal selain namanya.

    “Nama Duterte sudah cukup untuk menimbulkan rasa takut dan jijik pada kami”, kata Normita Lopez, 60 tahun, yang kemudian terdengar menangis di antara penonton.

    Alasan melawan

    Polisi Filipina atas perintah Presiden Duterte (waktu itu) menembak putranya sebanyak lima kali hingga tewas di tempat.

    Pihak kepolisian seringkali hanya enteng mengatakan para korban “melawan”, sebuah frasa yang selalu digunakan untuk membenarkan pembunuhan.

    Keputusan ICC untuk mengizinkan Duterte hanya muncul melalui tautan video dari tempat ia ditahan dengan alasan kelelahan karena penerbangan panjangnya dari Manila ke Den Haag, menuai cemoohan dari para penonton. “Dia tidak terlihat lelah bagi saya,” seorang wanita berteriak marah ke arah layar.

    Sorak sorai dan ejekan mengiringi klaim pengacara Duterte,  Salvador Medialdea, yang mengatakan pemindahan kliennya ke Den Haag adalah bentuk penculikan.

    Sheerah Escudero, yang saudara laki-lakinya Ephraim diculik dan kemudian ditemukan tewas selama tindakan keras tersebut, mengatakan fakta Duterte diadili hanya menggarisbawahi ketidakadilan.

    “Kita, saudaraku, pernahkah kita merasakan hak asasi manusia itu?” tanyanya seusai menyaksikan pra sidang perdana Duterte tersebut.

    Rodrigo Duterte 79 tahun, dalam sidang ICC itu dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan selama bertahun-tahun, yang menurut kelompok hak asasi manusia telah menewaskan sekitar 30.000 orang yang sebagian besar warga miskin Filipina.

    Saat jalannya siaran sidang ICC berakhir, terdengar desahan keras kecewa para keluarga korban ketika hakim menjelaskan sidang berikutnya tidak akan diadakan selama enam bulan.

    Tuhan tidak pernah tidur

    Penangkapan Duterte atas perintah ICC ini memang sangat disyukuri mayoritas warga Filipina. Seorang aktivis hak asasi manusia, Pastor Flaviano Villanueva mengatakan kepada AFP ia langsung berpikir: “Tuhan tidak pernah tidur.”

    Villanueva telah menghabiskan waktu bertahun-tahun membantu keluarga mereka yang terbunuh dalam penindakan keras Duterte.

    “Keadilan hukum merupakan ekspresi penyembuhan, terutama dalam situasi ini, di mana penangkapan Duterte merupakan manifestasi dari hukuman atas dosa-dosanya,” katanya.

    Menurut pastor Villanueva, pembunuhan itu bukan hanya tanggung jawab mantan presiden Duterte saja. “Dia hanya seorang arsitek. Ada juga tukang kayu, tukang batu, dan pandai besi. Semua orang yang tangannya berlumuran darah harus bertanggung jawab,” jelasnya.

    Nyaris tak percaya

    Mantan senator Leila de Lima yang menghabiskan enam tahun di sel penjara atas perintah Duterte, nyaris tak percaya mantan presiden Filipina itu bisa ditangkap.

    Dia berada di sebuah mal di Manila ketika berita penangkapan Duterte tersebar di media sosial. “Saya bertanya pada diri sendiri, benarkah ini?. Saya masih belum bisa sepenuhnya percaya surat perintah itu sudah ada”, katanya.

    Dia sangat gembira sampai sempat terdiam lama. “Roda keadilan sedang berputar, tetapi (saya juga merasa) pahit dan sedih, karena diperlukan pengadilan internasional untuk dapat benar-benar melakukan hal-hal konkret,” katanya.

    Menurutnya, pemerintah Filipina kini punya peluang untuk menunjukkan pengaruhnya dengan menyasar kaki tangan Duterte, terutama pria bersenjata yang masih bebas berkeliaran.

    Menangis terharu

    Ahli patologi forensik Raquel Fortun mengatakan dia menagis terharu saat sedang berkendara dari Kota Quezon ketika pertama kali dilaporkan adanya surat perintah penangkapan untuk Duterte. “Itulah pertama kalinya saya menangis,” ungkapnya.

    Wartawan AFP pertama kali bertemu Fortun lebih dari dua tahun lalu di kamar mayat darurat yang dikelilingi peti-peti kayu berisi jenazah manusia.

    Meskipun sering menjadi sasaran ancaman, upayanya untuk menentukan penyebab kematian dalam pembunuhan perang narkoba terus berlanjut.

    “Pekerjaan belum berhenti, masih banyak keluarga yang harus ditolong… masih banyak jenazah yang harus digali, masih banyak rujukan yang harus diterima. Orang-orang ini mengandalkan saya. Jadi, bagaimana saya bisa berhenti?”, ungkapnya.

    Setelah kejadian minggu ini, Fortun mengatakan dia merasa agak lebih aman dan tetap berharap kasus ICC terselesaikan demi keluarga terdekat para korban.

    Delapan tahun kumpulkan bukti

    Mantan senator Antonio Trillanes mengatakan seluruh penghuni kantornya sangat gembira atas penangkapan Duterte, setelah perjalanan delapan tahun mereka mengumpulkan bukti dan berkoordinasi dengan pengadilan internasional.

    “Penangkapannya merupakan pesan yang kuat bagi para pemimpin masa depan… Jika Anda menyalahgunakan kekuasaan dan menindas rakyat, dan lebih buruk lagi, membunuh mereka, Anda akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan Anda,” tegas Trillanes.

    Namun, ia juga menyadari tidak semua warga Filipina menyambut berita ini dengan suara bulat. Ia memperingatkan destabilisasi masih mungkin terjadi.

    Trillanes, yang pernah menyebut Duterte memiliki “pola pikir pembunuh bayaran”, mengatakan masyarakat tidak perlu merasa kasihan terhadap “pria tua yang sakit-sakitan” yang ditahan.

    Sebaliknya, kata Trillanes, ingatlah Duterte “ketika dia memerintah seperti raja dan mengakhiri hidup orang-orang sesuka hatinya”.(P-Jeffry W)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini