PRIORITAS, 10/10/25 (Jakarta): Pemerintah Indonesia bisa meraup pendapatan Rp.2.400 triliun hanya dari kelapa. Untuk mendapatkan hasil itu, pemerintah kini mulai menggenjot hilirisasi hasil perkebunan kelapa di seluruh daerah di Indonesia.
Menurut Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, selama ini Indonesia ekspor kelapa bulat hingga 2,8 juta ton dengan nilai hingga Rp 24 triliun.
Pemerintah nantinya akan menahan ekspor kelapa dalam bentuk mentah dan kelapa diolah menjadi produk bernilai ekspor, contohnya santan.
Sesuai hitung-hitungannya, apabila kelapa dihilirisasi menjadi produk santan alias coconut milk, nilainya bisa naik 100 kali lipat. Jadi Indonesia bisa mendapatkan keuntungan sampai Rp 2.400 triliun.
“Kita hitung rata-rata saja, itu bisa menghasilkan Rp 2.400 triliun. Katakanlah separuh saja, dikali 50%, itu sudah bisa menghasilkan Rp 1.200 triliun devisa. Itu baru kelapa,” papar Amran, di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, seperti dikutip Beritaprioritas.com, hari Jumat (10/10/25).
Menteri Amran mengakui Indonesia nantinya tidak akan lagi menjual kelapa bulat ke luar negeri, karena hilirisasi kelapa sudah dimulai.
“Kemudian rencana kita hilirisasi kelapa ini tidak dijual gelondongan ke luar negeri yang total volumenya 2,8 juta ton,” kata Amran seperti dirilis Detik finance.
20 Pabrik Baru
Program hilirisasi komoditas perkebunan sesuai tupoksi Kementan diawali dengan peningkatan produksi dan produktivitas 7 komoditas yatu tebu, kelapa, kakao, kopi, pala/lada dan jambu mete.
Khusus kelapa tahun 2025 ini sampai 2027 ditargetkan penanaman 221.890 ha dan rencana pendirian 20 pabrik pengolahan kelapa baru.
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Kuntoro Boga Andri, menyatakan pengembangan seluas 221.980 ha biaya benih kelapa Rp610 miliar dan biaya tanam Rp550 miliar. Total Rp1,16 triliun.
Selain itu penyerapan tenaga kerja 250.000 orang dan prediksi hasil sebanyak 2.844.570 ton dengan nilai Rp5,77 triliun.
Dalam program hilirisasi ini, Sulawesi Utara terdapat 28.000 ha di Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, dan Minahasa Selatan, dengan luas eksisting 262.719 ha serta proyeksi hasil 301.401 ton/tahun.
Sedangkan untuk pengembangan pabrik di Sulawesi Utara, masing-masing 2 pabrik di Minahasa Selatan dengan pabrik eksisting 3 unit, luas 53.980 ha dan produksi 46.039 ton.
Di Minahasa Utara 1 pabrik, tidak ada pabrik eksisting, luas 36.476 ha, dengan kapasitas produksi 40.491 ton.
Kementrian Pertanian juga akan melakukan pengembangan kelapa dalam dengan luas 500.000 ha.
Target produk olahan coconut milk dan produk samping investasi Rp7,2 triliun. Sehingga keuntungan kumulatif Rp700,4 triliun, penyerapan tenaga kerja 1.156.246 orang dengan orientasi pasar ekspor.
Selain kelapa, hilirisasi hasil perkebunan juga menyasar kakao, kopi, mete, pala. Diharapkan proyek ini bisa membuka lapangan kerja mencapai 1,6 juta orang selama 2 tahun.
“Kita akan berikan benih, bibit pada seluruh petani Indonesia, kakao, kopi, kelapa dalam, mete, pala, itu kurang lebih 800 ribu hektare seluruh Indonesia, dan itu gratis. Ini akan membuka lapangan kerja 1,6 juta orang dalam waktu paling lambat 2 tahun,” papar Menteri Amran.
Nilai ekspor naik
CoFounder HIPKI (Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia), Amrizal Idroes, menyatakan pada FGD Kelapa yang diselenggarakan KADIN dan APKI, nilai ekspor CNO sampai Agustus 2025 USD830 juta atau naik 469%, Dessicated Coconut USD197 juta (naik 630%), gula kelapa USD12,7 juta (naik 161%). Hanya santan yang turun 1% jadi USD238 juta karena produksi kurang.
“Industri tidak kuatir dengan pasar justru masalahnya bahan baku. Ekspor bahan baku juga melonjak nlainya, kelapa segar USD376 juta atau naik 178%, kopra USD21 juta naik 15% dan arang tempurung USD157 juta, naik 35%,” katanya.
European Union’s Deforestation Regulation (EUDR) atau Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa, yang dikuatirkan akan menghambat perdagangan sawit, karet, kopi, kakao, tetapi tidak mengkuatirkan bagi industri kelapa.
Kelapa tidak termasuk dalam komoditas yang masuk dalam EUDR. Saat ini di Indonesia kebun kelapa 99% milik rakyat, yang sudah ada sejak jaman dulu sehingga tidak mungkin berada dalam Kawasan hutan.
Rakyat juga tidak punya kemampuan menebang hutan, kemudian membangun kebun kelapa.
Nilai ekspor produk kelapa ke EU adalah CNO USD51 juta, DC USD86 juta, santan USD4,1 juta, gula kelapa USD1,3 juta. “EUDR tidak jadi masalah bagi industri kita. Masalahnya adalah bahan baku yang masih kurang. Ini harus jadi perhatian pemerintah,” katanya.
Kebutuhan industri
Tahun ini produksi kelapa naik tetapi belum mampu mencukupi kebutuhan industri.
Petrus Tjandra dari PT Agroinvestama yang memiliki industri pengolahan kelapa, minta pemerintah bijaksana dengan memperhatikan kepentingan petani dan pengusaha secara berimbang.
“Sekarang harga kelapa sedang naik tinggi dan ekspor kelapa bulat juga naik. Petani tentu gembira. Pabrik yang kesulitan mendapatkan kelapa, sehingga pabrik saya di Lampung berhenti beroperasi. Saya minta pemerintah bijaksana bijaksini menanggapi masalah ini,” katanya.
Petrus bersyukur pemerintah tahun 2025-2027 akan mengembangkan kelapa seluas 221.890 ha.
Masalahnya adalah ketersediaan benih unggul. Program untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ini harus menggunakan benih unggul.
Berdasarkan kapasitas produksi benih unggul kelapa yang ada sekarang tidak akan cukup untuk 221.890 ha. Tidak seperti sawit yang sudah banyak sekali produsen benih swasta, tetap kelapa belum ada.
Untuk 221.890 ha kebutuhan benih unggul kelapa mencapai 14 juta bibit, sedang kapasitas yang ada hanya 1 juta.
Karena itu, diusulkan untuk impor benih kelapa. Anggota HPKI juga jika tersedia lahan siap membangun kebun dengan pola inti plasma sekaligus membangun kebun sumber benih.(P-Jeffry W)
No Comments