PRIORITAS, 30/3/25 (Jakarta): Sedang viral di berbagai platform media sosial di tanah air, aset Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di ibukota Prancis, Paris, terancam disita. Sejumlah video terkait bakal disitanya aset KBRI di Prancis itu diunggah di TikTok, Instagram, Facebook, dan X.com, juga dibagikan di berbagai WA Group.
Salah satu yang mengunggah dan membahas kasus itu ialah pengacara Hotman Paris Hutapea. Ada juga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Permasyarakatan (Menko Kumham Impias), Yusril Ihza Mahendra.
Sesudah ditelusuri lebih jauh, kasus yang sudah cukup ramai diberitakan sejak awal Maret 2025 itu melalui media dalam dan luar negeri, juga media sosial, tertutupi dengan isu-isu heboh di dalam negeri. Terutama terkait isu pembahasan dan aksi-aksi penolakan terhadap Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia 2025 yang menuai banyak kontroversi.
Sengketa pengadaan satelit?
Dihimpun dari berbagai sumber, diketahui pokok persoalannya adalah terkait kasus sengketa pengadaan satelit antara Navayo dan Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada tahun 2016.
Disebutkan, sebelumnya, pada 22 April 2021, keputusan arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) di Singapura menghukum pemerintah Indonesia membayar US$10.200.000 ditambah tiga persen per tahun sejak jatuh tempo pada 22 April 2021. Hingga Maret 2025, jumlah yang harus dibayarkan berdasarkan putusan itu mencapai US$24,1 juta atau sekitar Rp371 miliar.
Disebut video yang beredar, berdasarkan keputusan arbitrase ICC itu, pihak Navayo diberikan kewenangan penyitaan terhadap aset KBRI di Paris pada 4 Maret 2025 lalu.
Tapi di mata Yusril, kasus Navayo tersebut diselimuti praktik manipulasi dan korupsi. “Kasus Navayo ini sarat dengan manipulasi dan korupsi. Karena itu, pemerintah tidak akan diam apalagi mengalah pada mereka,” kata Yusril melalui keterangan resminya Jumat (22/3/25).
Untuk itu, Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan status tersangka terhadap pihak Navayo International AG dan mengajukan red notice ke Interpol, usai dikabulkannya permintaan Navayo untuk menyita aset Pemerintah RI di Paris oleh Pengadilan Prancis.
Bertemu Menteri Kehakiman Prancis
Khabar terbaru yang beredar sebelum libur panjang Lebaran 2025 terpantau pada Jumat (28/3/25) berupa keterangan pers Menko Kumham Impias, Yusril Ihza Mahendra, yang menemui Menteri Kehakiman Prancis, Gérald Darmanin di Paris pada Kamis (27/3/25).
Disebutkan, salah satu hal yang disinggung dalam pertemuan tersebut ialah putusan Pengadilan Prancis terhadap kasus Navayo Internasional. Salah satu dampak dari putusan tersebut berpotensi menyeret sejumlah aset Pemerintah Indonesia yang berada di wilayah Paris.
Yusril mengklaim, Indonesia menghormati proses hukum yang berlangsung di Prancis. Namun, kata dia, putusan pada kasus Navayo Internasional bertentangan dengan asas dan praktik hukum internasional.
“Semua pihak yang terlibat dalam suatu perkara seharusnya diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan sebelum putusan dijatuhkan,” kata dia dalam siaran pers Jumat (28/03/25), dikutip Beritaprioritas.com pada Minggu (30/3/25).
“Kelalaian terhadap prinsip ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kredibilitas pengadilan Prancis dalam menangani permohonan yang diajukan oleh Navayo Internasional,” ungkap Yusril.
Selain itu, menurut dia, aset-aset milik Indonesia yang terseret dalam putusan tersebut seharusnya mendapat perlindungan dari Prancis sebagai objek diplomatik sesuai Konvensi Wina. Dengan begitu, aset diplomatik suatu negara di luar negeri seharusnya tidak boleh disita oleh pihak swasta.
“Jika penyitaan ini tetap dikabulkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi hubungan diplomatik internasional,” ungkapnya.
Naik banding Mei mendatang
Disebut Yusril, menanggapi keberatan yang disampaikannya, pihak Prancis menyatakan seluruh informasi terkait telah disampaikan kepada pengadilan, termasuk konfirmasi dari Kementerian Luar Negeri Prancis, dimana aset yang disita ialah properti diplomatik Pemerintah Indonesia.
Tapi, menurut pihak Prancis, katanya lagi, pengadilan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengajukan banding dengan sidang yang dijadwalkan pada Mei mendatang.
“Kami akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan keberatan, sanggahan, dan bantahan atas keputusan pengadilan tersebut. Kami berharap pengadilan dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dan membatalkan keputusan yang telah diambil sebelumnya,” ucap Yusril.
Pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris juga telah menunjuk pengacara Prancis yang berpengalaman dalam menangani kasus penyitaan aset negara, untuk menghadapi persidangan tersebut. Dalam hal ini, Yusril menyatakan pihaknya akan turut memberikan keterangan dalam persidangan nanti.
“Kami telah menunjuk pengacara yang pernah menangani kasus serupa bagi negara Kongo, dan saat ini kami yakin beliau dapat membantu membela kepentingan Pemerintah Indonesia di pengadilan Prancis,” ujar dia.
Selain itu, Yusril menegaskan pemerintah telah mengambil langkah hukum di dalam negeri terkait kasus Navayo, yakni berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menangani dugaan fraud (penipuan) dalam perjanjian antara Navayo dan Kementerian Pertahanan.
“Dugaan fraud ini telah dikemukakan dalam persidangan Arbitrase Singapura, namun langkah hukum pidana tetap diperlukan untuk menangani kasus ini lebih lanjut,” ujar dia. (P-ht)