Jakarta, 20/11/20 (SOLUSSInews.com) – Virus Covid-19 memang tak pandang bulu. Bencana non alam ini telah memukul banyak sektor kehiduoan manusia.
Nah dilaporkan, Singapura dan Osaka tak lagi menyandang predikat kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Posisinya kini turun dan digantikan oleh Zurich dan Paris yang naik empat peringkat. Sedangkan Hong Kong masih tetap bertengger di peringkat pertama bersama kedua kota tersebut.
Survei terbaru The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengukur biaya hidup di 133 kota di dunia menunjukkan adanya pergeseran peringkat. Ke-10 kota dengan biaya hidup termahal di dunia berasal dari benua Amerika (dua kota), Asia ( kota) dan Eropa (4 kota).
Dari 10 kota termahal tersebut ada lima kota yang mengalami kenaikan peringkat yaitu Zurich, Paris, Tel Aviv, Jenewa dan Copenhagen. Empat kota yang mengalami penurunan yaitu Singapura, Osaka, New York dan Los Angeles.
Harga-harga di Singapura dan Osaka terus mengalami penurunan seiring dengan merebaknya pandemi yang memicu resesi ekonomi dan deflasi. Eksodus pekerja asing dari Singapura membuat permintaan menurun, sementara Jepang masih berkutat dengan masalah kronisnya sejak tahun 1990-an, yaitu downward spiral of deflation.
Peningkatan harga di Benua Eropa salah satunya dipicu oleh kecenderungan apresiasi mata uang Euro terhadap greenback. Secara year to date Euro bergerak menjauhi dolar AS dengan apresiasi sebesar 5,78 persen. Sementara di saat yang sama indeks dolar slip empat persen.
Secara keseluruhan kenaikan harga dan biaya dalam unit dolar AS terjadi di Tehran, Iran, karena adanya sanksi ekonomi dari AS yang membuat terganggunya pasokan barang ke negara tersebut.
Meskipun mengalami kenaikan sampai 30 peringkat dari 106 ke 79 tetapi harga-harga barang di Tehran masih jauh lebih murah dibanding 10 kota dengan biaya hidup termahal versi EIU.
Penurunan harga paling parah terjadi di Brazil yaitu di kota Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Penurunan harga ini dipicu oleh anjloknya mata uang Brazil dan kenaikan angka kemiskinan di negara tersebut.
Mata uang Brazil telah terdevaluasi hingga 33,44 persen sepanjang tahun ini dan angka kemiskinan di negara Amerika Latin itu diproyeksi akan bertambah jutaan orang. Resesi ekonomi akibat Covid-19 membuat harga-harga menurun seiring dengan lemahnya daya beli masyarakat.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan di segala sektor, memicu volatilitas pasar valas yang lebih tinggi, memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tak biasa, mendisrupsi rantai pasok, menurunkan pendapatan hingga mengubah pola hidup masyarakat.
Semua faktor itu menyebabkan terjadinya perubahan kebutuhan dan harga kebutuhan pokok secara mengglobal. Harga kebutuhan pokok bagi konsumen cenderung tetap. Namun apabila ditinjau lebih lanjut harga-harga barang esensial cenderung naik sementara barang non-esensial seperti fesyen cenderung mengalami penurunan.
Maklum selama pandemi Covid-19 mobilitas menjadi terbatas. Masyarakat masih menjauhi pusat kerumuman seperti mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Akibatnya permintaan terhadap barang fesyen drop.
Namun harga barang-barang mewah cenderung tak goyang, karena masyarakat kaya memang tidak terdampak pandemi seperti halnya masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Untuk kategori makanan dan minuman berdasarkan survei EIU harga kopi, keju, jeruk, alkohol hingga tembakau cenderung naik meski secara index total flat. Adanya kebijakan work from home juga memicu terjadinya peningkatan kebutuhan barang-barang elektronik seperti laptop.
Lockdown di Wuhan sebagai pusat manufaktur barang elektronik menyebabkan disrupsi rantai pasok yang berakibat pada penurunan suplai di tengah kebutuhan yang meningkat. Alhasil harga barang-barang elektronik pun mengalami peningkatan. Harga komputer naik 18,7 poin dibanding harga tahun lalu.
EIU memprediksi tren harga ini masih akan berlanjut sampai tahun depan mengingat ada risiko ketidakpastian yang besar dan ekonomi baru diramal pulih ke level sebelum pandemi pada 2022.
Sepanjang periode tersebut masyarakat akan cenderung mengurangi belanjanya dan menabung meski stimulus terus digelontorkan oleh pemerintah. Harga-harga pun tertekan kecuali harga kebutuhan pokok, barang atau jasa hiburan dalam rumah hingga akses internet. Demikian Tim Riset CNBC Indonesia. (S-CNBC/jr)