31.1 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

    Adanya ketidakpastian suku bunga Amerika timbulkan sentimen negatif pada suku bunga berbagai negara

    Terkait

    PRIORITAS 26/6/2024 (Palu) : Pengamat Ekonomi Bisnis Mohammad Ahlis Djirimu Ph.D mengatakan adanya Ketidakpastian Suku bunga Amerika atau Fed Fund Rate Timbulkan Sentimen Negatif Pada Suku Bunga Berbagai Negara termasuk Indonesia.

    “Ini yang disebut sebagai efek Fisher yang juga dapat menimbulkan efek rambatan inflasi dari Amerika ke Indonesia karena mitra dagang besar, seperti Indonesia dan Tiongkok, fluktuasi Renminbi dapat menimbulkan efek rambatan ke Indonesia atau inflasi impor” kata Mohammad Ahlis Djirimu Ph.D kepada Prioritas Rabu (26/6/2024)

    Pernyataan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Tadulako (Untad) Palu ini dengan menguatnya kurs mata uang rupiah terhadap US Dolar Senin, 24 Juni 2024, Rupiah menguat 0,34 persen pada Rp16.394,- per USD dari sesi penutupan Jum’at, 22 Juni 2024 sebesar Rp16.450,-. Hari Selasa, 25 Juni 2024, kurs Rupiah mencapai Rp16.375,- atau menguat lagi sebesar 0,12 persen.

    Fenomena atau berfluktuasinya kurs mata uang domestik, atau lebih tepat dikatakan volatilitas rupiah menurut Ahlis Djirimu merupakan hal biasa di pasar keuangan global.

    “Secara teoretis, volatilitas kurs Rupiah ini tidak terlepas dari pilihan Indonesia dalam pemberlakuan sistem kurs. Di Ekonomi Moneter International, dikenal the imposibility trinity of Robert Mundell atau Trilema Segitiga Mundell” katanya

    Solusi paling utama mengatasi hal ini menurut Ahlis Djirimu adalah adanya disiplin anggaran pada pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran. Demikian pula daerah, harus mengantisipasi dengan ketidakpastian penerimaan negara karena melemahnya daya beli atau permintaan dunia.

    Caranya adalah disiplin APBD, jangan boros anggaran, belanja berkualitas, mengurangi perjalanan dinas keluar daerah. Krisis tentu wajib kita antisipasi, tetapi ia yakin Indonesia masih jauh dari krisis kembar yakni krisis perbankan dan krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi seperti pada 1998 penyebabnya adalah krisis Tata Kelola keuangan di Thailand karena Bangkok International Bank Facility menerima valuta asing lalu menyalurkannya pada usaha yang pengembalian datanya berjangka menengah dan panjang seperti ditanamkan pada sektor perhotelan, resorts, apartemen, lalu terjadi jatuh tempo atau istilahnya terjadi time mismatch dan maturity mismatch.

    Runtuhnya Baht Thailand diperparah, capital inflow tersebut ditanam pada kelompok sendiri yang sama dengan pemilik bank. Tentu dengan kredibilitas fiskal yang baik saat ini, saya tidak melihat akan terjadinya krisis. Sejak krisis Asia, setiap pemerintah sudah mempunyai namanya Early Warning System (EWS) deteksi ini terjadi krisis. Saya mendalami EWS sejak 1998, dan kita dapat memperkirakan 2 tahun sebelum datangnya krisis. Selain itu, di Asia, ada namanya Inisiatif Chiang Mai yakni sebuah kerjasama pooling fund antisipasi krisis.

    “Namun, tidak ada salahnya kita tidak waspada pada pengalaman menunjukkan krisis terjadi meregional dan mempunyai sifat menjalan seperti dari krisis Asia 1998, lalu krisis Rubel 2002, mini krisis Asia 2005, krisis Amerika pada 2008, krisis zona Euro pada 2010. Hal ini terjadi semenjak runtuhnya sistem Bretton Woods di Tahun 1973, maka tidak ada satupun rezim kurs yang tepat bagi suatu negara dalam waktu yang sama” kata Ahlis Djirimu. (P/elk) –foto: M Ahlis Djirimu Ph.D (istimewa)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini