Tonton Youtube BP

AS pernah kerahkan intel awasi Presiden RI selama di China

Jeffry Wuisan
4 Sep 2025 23:58
3 minutes reading

PRIORITAS, 4/9/25 (Jakarta):  Parade militer China di lapangan Tiananmen di Beijing yang dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, hingga Presiden RI Prabowo Subianto, hari Rabu (3/9/25),  mendapat sorotan dunia.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuding hadirnya sejumlah pemimpin dunia di Beijing itu, menunjukkan adanya konspirasi.

“Semoga Presiden Xi dan rakyat China yang luar biasa merayakan hari perayaan yang agung dan abadi. Mohon sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin, dan Kim Jong Un, saat kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat,” tulis Trump, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari CNBC Indonesia, hari Kamis (4/9/25).

Sorotan AS terhadap kunjungan pemimpin dunia ke China bukan hal baru, karena dulu ketika Presiden RI pertama Soekarno berkunjung ke Beijing, juga pernah diawasi ketat Washington.

Kunjungan Presiden Soekarno ke China pada 30 September 1956 menjadi salah satu momen bersejarah dalam hubungan diplomatik kedua negara. Sambutan yang diberikan China begitu meriah dan penuh kehormatan.

Harian Kedaulatan Rakyat (1 Oktober 1956) menulis setibanya di bandara, Soekarno langsung dijemput dua pemimpin besar China, yakni Mao Zedong dan Zhou Enlai.

Setelah itu, dia diarak dengan mobil terbuka melewati jalanan Beijing sejauh 15 kilometer.

Ratusan ribu warga berdiri di kiri-kanan jalan, membawa foto Soekarno dan poster bertuliskan “Selamat Datang” serta “Merdeka!”, sambil meneriakkan kata-kata tersebut.

Dipantau CIA

Meriahnya sambutan itu tentu saja menjadi pantauan khusus Amerika Serikat lewat Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen AS.

Saat itu dunia berada di tengah Perang Dingin (1945-1990) antara AS (liberal) dan Uni Soviet (komunis).

Presiden pertama RI, Soekarno (kiri) bersama pemimpin China Ma Zedong (tengah) tertawa saat mereka bertemu di Beijing.(gesuri.id)

Indonesia dianggap sebagai salah satu wilayah perebutan pengaruh. Washington tentu tidak ingin Indonesia semakin dekat dengan komunisme.

Pengawasan ini terungkap dalam dokumen rahasia CIA yang baru dipublikasikan pada 2003.

Dalam laporan berjudul “Sukarno’s Visit to Peiping”, badan intelijen itu mencatat detail kunjungan Soekarno ke 17 kota di China selama dua minggu. Salah satu poin yang disorot adalah sikap Soekarno yang terbuka mendukung klaim China atas Taiwan.

“Dalam berbagai pidatonya, Sukarno menekankan aspirasi bersama antara rakyat China dan Indonesia. Dia mendukung tujuan Peking untuk mencaplok Taiwan, mengatakan kepada para mahasiswa bahwa persahabatan Tiongkok-Indonesia bersifat ‘tak tergoyahkan’, serta mengundang Mao Zedong untuk berkunjung ke Indonesia,” ungkap CIA.

Kala itu, Taiwan menjadi wilayah sengketa dengan China sejak 1925. Beijing tidak mengakui kemerdekaan Taiwan dan menganggapnya sebagai provinsi yang membangkang. Tentu, sikap Soekarno mendukung China agar mencaplok Taiwan bisa berbahaya.

Soekarno sendiri sadar langkahnya diawasi ketat AS saat kunjungan dan setelah tiba di tanah Air. Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), dia bercerita:

“Mereka (AS) melihat kunjunganku ke Beijing dan Moskow adalah langkah yang salah,” ungkap Soekarno.

Opini negatif

Soekarno mengklaim, AS disebut memerintahkan media untuk menggiring opini negatif tentangnya. Dari situlah, menurutnya, tuduhan sebagai komunis mulai muncul.

“Itulah awalnya mereka memberi julukan kepada seorang amat mencintai Tuhan sebagai seorang komunis”, kata Soekarno.

Atas dasar itu, Soekarno tidak senang dengan propaganda Amerika Serikat. Dia menegaskan China dan Indonesia sudah menjadi tetangga yang baik selama berabad-abad, sehingga tidak perlu ada campur tangan dalam urusan kehidupan bangsa lain.

Usai kunjungan tersebut, hubungan Soekarno dengan China memang semakin intens, sementara relasinya dengan AS justru merenggang.

Kedekatan Indonesia-China kian terlihat ketika muncul poros baru dalam geopolitik, yakni Indonesia, China, dan Korea Utara, yang kemudian dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking-Pyongyang.

Namun, kemesraan RI-China, begitu juga poros Jakarta-Peking-Pyongyang, berakhir seiring lengsernya Soekarno dari kursi presiden pada 1966. Penggantinya, Soeharto, menutup pintu diplomasi dengan China dengan alasan penolakan ideologi komunis serta peristiwa Gerakan 30 September. Hubungan diplomatik RI-China baru kembali terjalin pada 1990.(P-Jeffry W)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Video Viral

Terdaftar di Dewan Pers

x
x