Suasana lokasi lahan negara bekas hutan magrove diduga diklaim jadi milik seseorang di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. (Antara)
PRIORITAS, 3/2/25 (Makassar): Tanah negara berupa hutan mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
diduga telah dikavling oleh oknum pribadi.
Terkait kasus ini Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan masih melakukan penyelidikan dugaan kavling tanah negara oleh oknum di hutan Mangrove.
“Kita koordinasi dulu dengan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), Pemda (pemerintah daerah), Pemprov (Pemerintah Provisi). Karena izin untuk mengkavling atau masih pakai riil DKPP apakah ada ijinnya atau tidak,” ujar Kapolda Sulsel Irjen Pol Yudhiawan di Makassar, seperti dilansir Antara.
Akan menindak tegas
Kapolda bilang apabila dalam perjalanannya ditemukan penggunaan lahan itu tidak berijin, pihaknya akan menindak tegas termasuk yang mengkavling tanah tersebut jika melanggar aturan.
“Nanti kita lihat. Kalau tidak ada ijinnya, harus kita tindak,” katanya kepada wartawan seusai menghadiri kegiatan arak-arakan Dewa dan Budaya yang merupakan rangkaian perayaan Cap Go Meh Imlek 2576 tahun 2025, di Jalan Sangir Makassar.
Hal tersebut menyusul di lokasi terjadi perusakan dan penebangan hutan mangrove bahkan telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) dari Kantor ATR/BPN Maros dengan nomor Sertifikat No.02974 seluas 28055 meter persegi atas nama Ambo Masse.
Lakukan verifikasi lahan
Di tempat yang sama, Penjabat (Pj) Gubernur Sulsel Prof Prof Fadjry Djufry juga merespons hal itu dengan melakukan verifikasi lahan yang telah kavling-kavling pada lokasi hutan mangrove.
“Jadi memang harus semua menggunakan regulasi yang ada. Jadi, ada kewenangan dari KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kita tempatkan pada kondisinya ini. Maka Pemprov akan mengkaji kembali aturan regulasi berlaku mana nggak,” katanya kepada wartawan.
Menurut dia, bila nantinya melanggar aturan dipastikan akan ditindaklanjuti. Selain itu, sudah ada arahan dari Menteri ATR/BPN dan Menteri KKP untuk melihat kembali hasil kajian di lapangan.
“Mudah-mudahan nanti kita bisa dudukkan sesuai dengan porsinya, sesuai dengan aturan main yang ada. Kita sudah panggil dinas kelautan dan perikanan (DKP) untuk melihat kembali, dicari mana sesuai aturan yang sesuai SOP, mana enggak,” paparnya.
Sebelumnya, pemerhati tata ruang Kabupaten Maros, Ayu Wahyuni menyoroti pembabatan hutan mangrove bahkan dijadikan hak milik. Padahal, tata ruang memiliki peran penting dalam mengatur ekosistem lingkungan sehingga perlu pengawasan dan pengendalian tata ruang.
“Tata ruang sangat penting mempertahankan lahan hijau untuk mengurangi dampak perubahan iklim seperti ancaman abrasi, dampak sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada lingkungan sekitarnya” kata dia.
Ayu menjelaskan, sejauh ini data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian hingga 2024, pemerintah berhasil menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang di Indonesia seluas 19,97 juta hektare. Bahkan pemerintah pusat berkomitmen menyelesaikan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang melalui sinkronisasi.
“Itu sebenarnya untuk memberikan kepastian hukum dan peningkatan iklim investasi, serta pemerataan ekonomi berkeadilan. Tapi sudah menjadi rahasia umum praktik mafia tanah oleh oknum-oknum masih saja berlangsung di daerah, salah satunya di Maros ini,” tuturnya mengungkapkan.
Hal senada disampaikan Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Ahmad Yusran, pembalakan liar ribuan pohon mangrove jelas melanggar, aturan apalagi diklaim seseorang lahan itu miliknya. Ironisnya, di lokasi itu ada bangunan Bank Sampah Induk (BSI), tentu saja pembangunannya menggunakan anggaran negara.
“Hutan bukan sekedar pohon dan hutan, tapi memiliki fungsi dan nilai berharga di tengah perubahan iklim saat ini yaitu ekosistem vital yang mendukung keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, mencegah banjir, dan meningkatkan ketahanan.
“Namun, perubahan lingkungan itu terjadi karena didorong oleh manusianya dan mengancam manfaat penting dari kelestarian lingkungan. Dampaknya nanti pada ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan stabilitas iklim,” tutur Ahmad menegaskan.
Informasi diperoleh dari Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maros, Murad Abdullah kepada wartawan menyampaikan, bahwa SHM diterbitkan pada 2009 dengan alas hak Rincik sebelum sertifikat resmi dikeluarkan pemerintah.
Tetapi belakangan bersoal, sebab lahirnya Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2012 menetapkan kawasan itu sebagai hutan mangrove, sehingga status lahannya berubah menjadi kawasan pesisir yang dilindungi. “Ada dua sertifikat diterbitkan sebelum lokasi itu masuk dalam zona mangrove,” katanya menjelaskan. (P-Jeffry P)