28.2 C
Jakarta
Sunday, December 22, 2024

    Hubungan Terlarang Guru-Murid di Gorontalo tak Bisa Dikategorikan “Suka Sama Suka”

    Terkait

    PRIORITAS, 30/9/24 (Jakarta): Penguhujung September 2024 ini diramaikan dengan pembahasan soal beredarnya video asusila antara seorang guru dan murid di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kabupaten Gorontalo. Video berdurasi tujuh menit tersebut memperlihatkan hubungan seks antara seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan remaja.

    Dalam penyelidikan pihak kepolisian Polres Gorontalo, diketahui bahwa pemeran laki-laki dalam video tersebut adalah DH (57 tahun), seorang guru di MAN Gorontalo, dan perempuannya adalah P (16 tahun) yang tak lain adalah muridnya sendiri.

    Komentar warganet pun bertebaran di media sosial. Banyak warganet yang mengaitkan video tersebut dengan child grooming, meski ada juga yang menganggapnya sebagai hubungan “suka sama suka”.

    Child grooming atau sexual grooming adalah tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan, serta kontrol atas seorang anak atau remaja yang bertujuan untuk mengeksploitasi mereka secara fisik, emosional, hingga seksual.

    Modus yang dilakukan pelaku adalah sering membantu P dalam kesehariannya. “Kemudian modus yang terjadi memang hubungan asmara, karena bersangkutan merasa tersangka ini mengayomi, membantu tugas, memberi perhatian lebih. Akhirnya korban pun merasa nyaman sampai terjadi seperti itu,” kata Kapolres Gorontalo, AKBP Deddy Herman, dikutip dari detikSulsel edisi Senin 30/9/24.

    Pembahasan soal kasus itu pun sampai ke Jakarta. Selain Kementerian Agama yang kabarnya sedang melakukan proses penelitian mendalam soal kasus tersebut, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi pun ikut angkat bicara.

    Dihubungi detik.com pada Senin (30/9/24) ini, Anastasia Sari Dewi menyampaikan pendapatnya bahwa label “suka sama suka” tidak tepat diberikan dalam konteks hubungan romantis orang dewasa dan anak di bawah umur. Menurutnya orang dewasa dan anak memiliki konsep consent atau persetujuan yang berbeda.

    Sari mengatakan anak di bawah umur secara biologis belum memiliki kedewasaan otak yang sama dengan orang dewasa. Mereka juga dianggap belum mampu secara psikologis dan pengalaman untuk mengambil keputusan yang lebih matang.

    Kondisi ini akhirnya membuat anak di bawah umur dianggap belum mampu memberikan consent secara ideal. Consent adalah persetujuan dalam melakukan aktivitas seksual. Jika tak memiliki consent, tindakan tersebut tergolong pelecehan atau kekerasan seksual.

    Sari menegaskan, anggapan ‘suka sama suka’ tidak tepat diberikan pada hubungan bersifat romantis yang terjadi pada orang dewasa dan anak di bawah umur. Menurutnya, anggapan tersebut bahkan bisa berbahaya.

    “Secara pengalaman, secara kemampuan berpikir kompleksnya, merajut berbagai aspek faktor dan menarik kesimpulan itu berbeda pada orang dewasa maupun pada anak,” kata Sari ketika dihubungi detikcom, Senin (30/9/2024).

    Ia lantas mencontohkan, orang dewasa biasanya akan melakukan pertimbangan yang panjang sebelum memberikan consent. Pertimbangan itu bisa meliputi untung dan rugi, risiko, masa depan, hingga dampak yang mungkin akan dialami.

    Sedangkan ketika anak memberikan consent, pertimbangannya akan cenderung lebih sederhana dan jangka pendek. Hal ini membuat anak berisiko menjadi korban manipulasi dari orang dewasa yang memiliki pikiran jahat.

    Hal ini juga belum ditambah dengan adanya dominasi dan pengaruh orang dewasa yang umumnya memiliki power lebih besar untuk menipu anak di bawah umur.

    “Sedangkan pada anak consent-nya itu sederhana sekali. Misalnya orang ini sudah baik sama aku ya, dia udah apa baiknya, dia ini siapa, terus selesai. Jadi seringkali hanya sebatas hal-hal jangka pendek atau aspek-aspek sederhana sekali yang mana masih riskan untuk dibohongi atau dimanipulasi,” tandasnya.(P-ht)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    - Advertisement -spot_img

    Terkini