PRIORITAS, 18/7/24 (Jakarta): Tingkat kemiskinan di Indonesia memang terus diupayakan berkurang atau menurun. Upaya itu memang terlihat membuahkan hasil, meski masinharus dimaksimalkan.
Namun, meskipun dalam keadaan ekonomi yang tergolong miskin, ternyata masyarakat Indonesia merasa tetap bahagia.
Demikian hasil pengukuran Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sebagaimana dikemukakan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dalam iBangga ada sejumlah indikator untuk melihat kondisi keluarga Indonesia. Yakni tenteram, mandiri, bahagia.
Dikatakan, skor yang tertinggi ialah kebahagiaan, yakni 72. Sedangkan skor kemandirian 51. Kemudian skor ketenteraman sekitar 56 atau 57.
Kebahagiaan tinggi walau kemandirian masih lemah
Disebut Hasto, berdasarkan data tersebut, kemandirian masyarakat sesungguhnya masih lemah, walau kebahagiaan tinggi. “Miskin tapi bahagia. Begitu kenyataannya. Masih bisa bersyukur. Meskipun warga miskin, tapi tidak sedih,” ungkapnya.
Lebih lanjut Hasto secara rinci menjelaskan tiga indikator pengukuran iBangga.
Pertama, indeks ketenteraman. “Contoh indeks ketenteraman adalah pasangan suami istri. Mereka memiliki akta nikah atau dokumen. Kalau istri simpanan, pasti nilai ketenteramannya rendah. Terus uring-uringan, dikejar-kejar rasa bersalah, maka nilai ketenteramannya rendah. Skor kita belum sampai 60. Belum tenteram karena perceraian juga tinggi,” tambah Hasto.
Kedua, indikator kemandirian yang berkaitan erat dengan faktor ekonomi. “Kemandirian itu jelas, angkanya 52. Artinya, dia belum bisa mencukupi biaya pendidikan, biaya makan. Bukankah rakyat Indonesia banyak yang menengah ke bawah,” ujarnya.
Indikator iBangga ketiga ialah kebahagiaan. Kebahagiaan ditandai dengan kehidupan bersosialisasi, gotong royong, berwisata, rekreasi, berkomunikasi, berinteraksi. “Itu memang happy kita. Kalau di kampung jaga gardu, ronda ramai-ramai, ketawa-ketawa, padahal hutangnya banyak,” urai Hasto Wardoyo (P-MEI/jr) — foto ilustrasi istimewa